“Hey! Ayo harus semangat dong! Tinggal berapa kilometer lagi ini? Pasti bisa!” Ucap seorang laki-laki yang samar. Gambaran aku dan dia tertawa sambil berlari melewati rintangan bersama tersimpan di benakku begitu jelas, aku ingat bagaimana panasnya hari itu dan teriakan semangat dari semua orang. Aku tersenyum sendiri membayangkannya hingga …
“PRILLLL!” Aku kaget dan menoleh. “Apaan sih mel, bikin kaget aja.”
“Ya kamu! Dipanggil dari tadi ga ngejawab, pake mesam-mesem segala lagi. Aku kira kamu sudah gila tau!” balas Amel, teman baikku sejak SD hingga sekarang ini. “Kamu mikirin apa sih? Kok kayaknya seneng banget? Jangan-jangan… KAMU MIKIRIN DANIEL LAGI? Udahlah pril lepaskan saja itu anak, kasihan kamunya, udah 3 tahun masih aja ga bisa move onI”
“Ih apaan kok tiba-tiba si Daniel sih?” gertakku kesal, Amel masih saja mengungkit hal itu terus-terusan, padahal sudah lama kita putus. “Udahlah mel lupain aja Daniel tuh.”
“Wah wah wah, kayaknya sudah gila beneran ini anak, 2 minggu lalu masih nelpon tengah malam terus nangisin Daniel.” kata Amel. Hehe tidak salah sih, aku masih susah move on dari Daniel, lagian kan dia memang merupakan mantan terindahku. Namun, kali ini aku benar-benar sudah move on kok! Tidak tahu lagi sih.
“Ya maaf mel kan memang cinta pertama.” ujarku.
“Cih iya deh iya. Oh iya gimana tuh, kamu katanya Minggu kemarin marathon di Magelang ya? Finish sampai akhir kan?” balas Amel.
“Eh yaiyalah finish, sekarang mah 42 kilo tuh kecil” kataku sambil memberi gestur meremehkan.
“Ih sombong, oh iya laki-laki yang kemarin di foto kamu, siapa tuh? Calon pacar baru?” Tanya Amel.
“AMIN MEL.Sayangnya, kita ga tukaran kontak.” jawabku sambil murung.
“Loh heh, ganteng lo bisa-bisanya kamu melewatkan kesempatan ini! Yaampun Julius Aprilia Chandra! Aku jadi kamu sih pasti sekarang lagi dinner romantis di restoran.” ungkap Amel.
“Ya dia habis marathon, foto, terus pergi deh. Keasikan ngobrol juga sih, lupa nanya kontaknya.”
“Eh tapi gimana ceritanya kok bisa kenalan? Ceritain aku dari awal sampai akhir titik!” tegas Amel.
Aku berpikir sedikit dan mulai bercerita pada Amel. Hari itu entah mengapa cuaca sangat tidak bersahabat, masih dini hari tapi petir dan guntur sudah menyambutku dengan gembira. Aku berdiri dan melakukan pemanasan di lokasi marathon, sambil murung tentunya. Aku sudah berjuang setengah mati untuk tampil cantik, tapi hujan ini akan merusak make up ku! Padahal aku sudah bangun tengah malam untuk bersiap marathon nantinya. Selain itu, waktu Daniel memutuskan aku kan juga waktu hujan. Singkat cerita, marathon pun dimulai, karena suasana hati yang tidak enak dan sedih aku pun lari dengan setengah hati. Mungkin orang yang melihat akan menganggap aku orang yang tidak tidur 5 hari berturut-turut saking lemasnya aku. Padahal aku sudah membayar setengah juta untuk ini agar sekalian bisa dapat pacar baru dan move on sepenuhnya dari Daniel. Hitung-hitung kan kalau dapat nanti bisa punya partner lari juga, namun dengan penampilan begini dan betapa lemasnya aku mana ada yang mau mendekatiku! Kilometer demi kilometer pun berlalu, aku berjuang saja sampai akhir. Aku tidak mau uangku hilang dengan sia-sia. Hingga pada kilometer ke 14 pun seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan melihat laki-laki yang sekiranya lebih tua beberapa tahun dariku, dia…ganteng. Ia mencoba berbicara denganku, awalnya aku tidak mendengarnya karena earbuds yang kupakai.
Saat kulepas aku bertanya “Apa kak? Maaf saya tadi tidak kedengaran.”, laki-laki itu bertanya lagi “Butuh energy gel? Kamu lemes banget kayak zombie.”
Refleks aku tertawa, sepertinya aku terlihat sangat menyedihkan sekarang.
“Gausah kak gapapa. Saya sudah punya energy gel sendiri.” balasku sambil menunjukkan energy gel yang tersimpan di kantong celanaku.
“Oh oke oke, terus kok mukanya sedih banget. Kenapa? Habis ditinggal pacar kah?” gurau laki-laki itu.
“Hehe ngga sih kak, kepikiran mantan aja gara-gara tadi hujan.”
“Belum bisa move on?”
“Belum sepenuhnya sih kak, tapi sudah 97% lah kak”
Laki itu tertawa sedikit dan melanjutkan “Ga mau nyari yang baru? Kamu cantik loh pasti banyak yang mau sama kamu hehe.”
“Siapa sih yang mau sama aku kak?”
“Loh jangan salah kak banyak kok kak yang mau, salah satunya…aku.”
Aku tertawa lagi “Kakaknya bisa aja deh, kenalan dulu deh barangkali aku juga mau sama kakak.” gurauku
“Yaudah kenalin aku Dustin Alvaro Adhitama, umur 22 tahun.”
“Wih lengkap banget, yaudah aku juga lengkap deh. Kenalin aku Julius Aprilia Chandra, umur 21 tahun.”
“Sudah berapa lama lari?” Tanya Dustin.
“1 setengah tahun sih, belum lama.” jawabku.
“Eh singkat banget waktunya, udah berani full marathon lagi.”
“Agak impulsif sih daftar ini, tapi ya bertekad aja sih. Kalau kakak sudah berapa lama?”
“3 tahunan sih, pertama kali full marathon sih ini. Oh iya panggil aja Dustin, lagian umurnya cuma beda setahun, ga jauh-jauh amat.”
“Kalau gitu panggil April aja biar ga kaku-kaku amat tin.” balasku
Kami pun lanjut berbincang sambil lari. Kami berbincang seperti sudah kenal sejak dahulu, kami tertawa dan berbagi cerita sepanjang jalur marathon. Tiap tawa yang kulepaskan menjadi sebuah energi untuk melewati tiap kilometer. Beberapa kilometer bersama sudah menjadi waktu yang cukup untuk mengenal satu sama lain. Bahkan di tengah perjalanan kami saling menjahili satu sama lain. Topik demi topik, dari situasi politik Indonesia hingga bagaimana koloni semut membangun rumahnya menjadi perbincangan kami. Tidak pernah kusangka marathon pertamaku bisa menjadi sebuah cerita yang menghangatkan hati di kemudian hari. Kami melewati rintangan bersama dengan tawa dan senyum. Semua ini menciptakan harmoni antara keceriaan dengan keringat. Hingga pada kilometer terakhir.
“AYO PRIL TINGGAL 1 KILO LAGI.” teriak Dustin sambil terengah-engah.
“IYAA AYO KITA BISA, aduh tapi capek banget.” balasku
“Eh nanti aja jalannya, entar lagi dah. Sisa 1 kilo lagi pril. Yakali jalan sekarang, habis sampai finish line dah baru jalan.”
“Iya deh iya,” balasku sambil lanjut berlari. “Eh kita udah masuk area finish line ga sih?”
“Ih iya, ga kerasa udah mau selesai marathonnya,” Dustin tertawa sedikit dan melanjutkan “ga nyangka bakal kenalan sama orang hari ini, udah gitu nyambung banget lagi.”
“Seneng deh bisa kenalan sama kamu tin, makasih ya udah buat aku ceria dan ga lemes lagi.” ujarku.
“Aw aku jadi tersipu deh.”
“Ih apa sih” balasku sambil tertawa karena tingkahnya.
“PRIL finish line nya udah kelihatan tuh, sprint ga si?”
“Gas tin, yang kalah bayar 50 ribu ke yang menang.” kataku sambil mulai sprint menuju finish line.
“Loh heh kok nyuri start. WEH PRIL KOK CURANG KAMU”
Aku tertawa keras sambil berlari kencang, sesekali menoleh ke belakang melihat Dustin yang berlari sekencang mungkin untuk membalapku, tapi pada akhirnya… ia berhasil membalapku.
Ketika kami berdua sudah melewati finish line ia langsung menyeletuk “Mana 50 ribunya?”
“Dih” cibirku sambil memberinya 50 ribu.
“HAHAHA yang mulai siapa yang kalah siapa.”
“Ih kamu kan sudah lari 3 tahun ya, kan aku baru 1 setengah tahun.”
“Iya kanjeng ratu, iya.”
“IH-, eh iya mbak terima kasih medalinya mbak. Yaudahlah tin, foto bareng yuk tin.”
“Eh ayo, foto depan borobudur ga si?” usul Dustin.
“Oke yuk kesana, tapi capek mang. Habis finish 42 kilo mang.”
“Ayolah sekalian pendinginan.”
Kami pun berjalan dan foto-foto di depan borobudur sambil berbincang. Hingga akhirnya Dustin pun mengucapkan perpisahannya.
“Pril aku ditelpon adikku, minta cepet ngumpul bareng. Mau ikut ga?”
“Ga deh tin, yakali nimbrung di keluarga orang. Sana udah have fun ya. Makasih ya sudah mau nemenin.” kataku.
“Yaudah makasih juga ya, ga nyangka bisa kenalan sama kamu, lain kali jalan bareng yuk!”
“Apa ini? Ajakan kencan kah?” gurauku “Ayo deh gas aja sih kalau aku.”
“Oke duluan ya pril.” ucap Dustin.
Aku melihatnya berjalan menuju keluarganya dan aku pun lanjut berfoto-foto. Tak lama aku pun pulang menuju hotel hingga aku kembali di Surabaya. Sepanjang perjalanan aku memikirkan perjuangan kita berdua dari awal hingga akhir. Ketika sudah sampai Surabaya aku baru teringat bahwa… AKU TIDAK PUNYA KONTAKNYA. Aku meringis dan meratapi nasibku yang kehilangan calon pacar begitu saja. Meski kita sudah berbincang dari A sampai Z kita tidak bertukar kontak. Luar biasa bukan? Aku pun tertawa pada fakta ini. Dan disinilah aku duduk berdua dengan Amel sambil menceritakan ini semua.
“Jadi gitu mel ceritanya.” kataku.
Amel pun menertawakan ceritaku. Lalu ia berkata “Konyol banget kalian pril, saking asyiknya sampai lupa tukaran kontak. Si Dustin sekarang kayaknya lagi nangis juga deh gara-gara lupa nanya kontakmu.”
“Gimana ini mel, jungkir balik aja ga si. Kayaknya sih Dustin ikut marathon lagi ya tahun depan, tapi masa aku harus nunggu setahun lagi?” ucapku sambil meringis sedikit.
“Ah pril yaudah mau gimana lagi pril, terima saja nasibmu anak muda.” balas Amel “cie sekarang udah move on, tapi sama aja sih masih galau.”
“Kok…bener. Jahat kamu mel” kataku
“LOH kan kenyataan. Sudah deh yang penting kamu sudah ga nangisin Daniel tuh” ujar Amel “eh sudah jam segini loh, bukannya kamu ada kelas habis gini?”
“EH IYA! Makasih mel, aku duluan ya.” ucapku sambil buru-buru membereskan barang-barangku dan bergegas ke kampusku. Di penyebrangan jalan aku melihat wajah yang tidak asing. Sepertinya orang itu pun merasakan hal yang sama denganku. Konyolnya kita saling menunjuk satu sama lain dan berteriak “LOH” pada waktu yang bersamaan.
“APRIL?!” teriak orang familier itu.
“DUSTIN?!” balasku, ingin diri ini untuk berlari menujunya dan menjadi dekat lagi, tapi apa daya lampu lalu lintas berkata tidak. Setelah lampu lalu lintas berganti menjadi hijau kami saling berlari pada satu sama lain dan berpelukan. Kami pun kembali bersama, meski hari itu aku terlambat ke kelasku, tapi yang penting aku sudah bertemu kembali dengan jodohku. Yang tadinya kami berjauhan bisa kembali dekat kembali. Itulah kisahku.
(Kontributor: Sharlene Bella Santoso, Siswi XI-4, SMA Santa Maria Surabaya)