Surabaya, Krisanonline.com – Krisanis, lebih dari 15 tahun terakhir, saya telah mewancarai lebih dari seribu orang yang akan mulai berkarier di perusahaan. Baik yang fresh graduate maupun mereka yang sudah berpengalaman. Satu hal yang menarik, hampir seluruh kandidat yang saya temui berfokus pada apa yang akan mereka peroleh (tepatnya, berapa yang akan mereka peroleh) dan bukan kepada apa yang akan mereka kontribusikan.
Saya bertanya kepada teman saya seorang praktisi SDM dan pemimpin perusahaan multinasional yang menerima puluhan bahkan ratusan lamaran per hari. “Bagaimana kalian bisa menyeleksi ribuan lamaran itu setiap bulannya? Membaca CV-nya saja sudah memakan waktu lama sekali. Mereka menjawab,”Oh, seleksi pertama kami cuma sekitar delapan detik per CV.”
“Cuma delapan detik?”Ya, rata-rata pelamar first jobber memberikan data pendidikan mereka di halaman pertama. Untuk Sarjana, kami lihat IPK-nya. Kalau di bawah standar, langsung kami buang ke tong sampah. Kalau IPK-nya cocok, kami lihat dari lembaga pendidikan mana. Kalau tidak masuk standar, langsung kami buang ke tong sampah. Setelah itu, kami lihat apa yag dicapai atau dihasilkan kandidat di luar pendidikannya. Kalau tidak ada yang bermakna, kecuali ada yang luar biasa menarik dari kandidat itu, langsung kami buang ke tong sampah. Bahkan namanya pun tidak kami baca. Dalam delapan detik itu, biasanya lebih dari 80 persen lamaran sudah tereliminasi. Bukan hanya kami yang melakukan ini, hampir semua perusahaan besar seperti ini metodenya.
Saya pun berpikir bahwa banyak lulusan S-1 di tanah air akan patah hati kalau tahu metode seleksi di perusahaan-perusahaan impian mereka ternyata seperti ini. “Apa yang sebenarnya menentukan seorang kandidat bisa diterima atau tidak?” tanya saya. “Melakukan tes dan wawancara kandidat itu biayanya mahal sekali. Apalagi, jumlah mereka banyak dan waktu kami sangat terbatas. Hanya yang bisa membuktikan bahwa mereka layak untuk mendapatkan waktu dan biaya kami, akan naik ke tahap selanjutnya. “Apa yang dapat menentukan mereka layak atau tidak?” tanya saya lebih lanjut. “Bukti bahwa mereka dapat berkontribusi sebagai pekarya, bukan cuma bukti bahwa mereka adalah pelajar yang baik.
Krisanis, pembicaraan dengan teman saya itu membuat saya sadar bahwa di era sekarang ini, nilai baik saja ternyata tidak cukup. Para pencari kerja harus membuktikan diri dulu bahwa mereka adalah pekarya yang mampu berkontribusi sebelum mereka mulai bekerja. Pengalaman berorganisasi, menghasilkan suatu karya yang bermutu, memiliki kemampuan teknis atau soft skill yang tidak diajarkan di bangku sekolah atau kuliah sama pentingnya dengan nilai akademik. Kemampuan berbahasa asing dan berkomunikasi yang efektif dan efisien juga menjadi penentu yang sangat besar dalam mendapatkan pekerjaan yang kita impikan.
Nah, berdasarkan pengalaman saya berkarier di perusahaan multinasional, lokal, dan BUMN akan lebih banyak pencari kerja yang dapat meningkatkan keberhasilan mereka mendapatkan pekerjaan, jika mereka fokus kepada apa yang dapat mereka kontribusikan bukan semata apa yang dapat mereka terima. Dalam hal ini kemasan sama pentingnya dengan isi. Kemasan pertama yang akan dilihat adalah apa yang bisa kita berikan, lalu baru kita layak menerima imbalannya.
(Kontributor: Steve Kosasih. Artikel ini pernah tayang di harian Kompas, 30 Juli 2015)