Surabaya, Krisanonline.com — Krisanis, pengalaman diajar oleh guru secara formal adalah sesuatu yang sangat biasa bagi kita, bahkan tidak sedikit dari kita mungkin takut karena sikapguru-guru yang bisa dibilang seperti ada “sekat-sekat” antara guru dengan siswa. Ya, aku alami hal itu selama di jenjang SD maupun SMP, baik swasta maupun negeri. Tapi, sama saja, perasaan takutku terhadap guru belum memudar dari SD hingga SMP.

Kebetulan SD dan SMPku berada di Bali, yang notabenenya identik dengan kurangnya efektivitas pembelajaran, yang membuatku tidak menemukan chemistry dengan guru-guruku. Ditambah lagi, aku mendengar bahwa aku akan disekolahkan di SMA Santa Maria, yang dikenal dengan keketatannya. Tentu aku memandang bahwa terdapat guru-guru yang “killer”, sangat pintar, serta disiplin. Siapa yang tidak takut, Krisanis?

Untungnya, saat kelas 10 awal, masih masa-masa online. Tetapi, karena aku merasa minoritas dan masih cenderung takut, maka aku memutuskan untuk menjadi siswa biasa yang tidak membuat masalah apapun di SMA Santa Maria dan sesuai aturan.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ternyata aku diperhatikan. Oleh siapa? Oleh wali kelasku, Krisanis. Bisa dibilang ini pertama kalinya aku merasakan apa yang selama ini aku cari dari seorang guru. Satu hal yang sangat menyentuh hatiku adalah sifat keibuan yang beliau tunjukkan. Mulai dari menanyakan kondisi kesehatan, hingga berbincang-bincang seputar keseharian anak-anak walinya.

Yang tak pernah aku lupakan adalah saat beliau memberikan catatan di rapot semester 1-ku dengan satu kalimat, “Aurel, lebih berani lagi ya..” Dari situ aku merenungkan dan seperti mengulang kembali apa saja yang aku lakukan di semester 1. Ternyata, beliau melihat bahwa diriku sebenarnya memiliki potensi tetapi belum berani berekspresi. Akhirnya, di semester 2, aku belajar mengembangkan potensi yang kemungkinan diharapkan beliau. Aku memberanikan diri aktif di kelas, lebih berani bersosialisasi, dan juga lebih menekuni pembelajaran.

Akhir kelas 10, beliau membisikkanku sambil merangkulku, “Ini dia yang jadi ranking 1.” Hatiku hanya bisa terdiam sambil tersenyum di depan beliau. Karena, dari dulu, ranking 1 hanya kemustahilan di benakku. Namun ternyata, ranking 1 bisa dipercayakan kepadaku hingga di kelas 11 dan semoga kelas 12 juga. Ternyata, rasa takut yang diubah beliau kini membuatku salut. Itulah rasa takut yang akhirnya bikin salut di segala sisi, salut kepada guru-guru dan salut pada perjalanan SMA-ku di SMA Santa Maria Surabaya.

(Kontributor : Aurelia Adeline Tan, Siswi XII IPS 1, SMA Santa Maria)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini