Surabaya, Krisanonline.com – Nani tersenyum memandangi sepatu bututnya. Solnya menganga. Bukan hanya yang kiri, kanan juga. Jika dipakai, jempol kaki nongol seakan hendak melarikan diri. Sambil tersenyum getir, dia berkata dalam hati,”Ah, kok bisa gini, ya? Kedua jempol kakiku keluar kalau kupakai.” Nani kemudian membayangkan peristiwa tadi pagi waktu di sekolah. Teman-teman meledeknya dengan memanggil “Si jempol nongol.””Biarin mereka memanggilku seperti itu.Bisa saja aku membeli yang baru dari hasil menyemir sepatu. Namun, dua adikku lebih membutuhkan uang ini. Mereka butuh susu dan makanan bergizi,”pikirnya sambil menghitung uang di jemari kecilnya. Angannya membayang ke masa silam saat rumah orang tuanya belum disita bank. Terlintas pula beberapa bulan setelahnya, ayah dan ibunya tewas dalam kecelakaan. Sejak saat itu, Nani yang baru duduk di kelas V SD menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya. “Ayah, Ibu, doakan Nani dari surga,ya? Nani, janji akan merawat adik-adik dengan baik,” pikirnya sambil memang locket peninggalan ibunya.

Jingga di ufuk cakrawala menanda senja. Nani melangkahkan kaki menuju kedai di perempatan jalan dekat rumahnya. Dua bungkus nasi telur dan sebungkus nasi pindang.”Pasti kedua adikku sudah lapar,”katanya dalam hati sambil mempercepat ayun kakinya. Dua adiknya telah menunggu di depan rumah kontrakan saat Nani tiba. Sebenarnya kurang pas kalau disebut rumah. Hanya ada satu kamar berukuran 3 X 3, sepetak kecil dapur yang berada di sebelah kamar mandi sempit. “Dik, sudah mandi, kan? Ayo makan! Kakak sudah beli nasi telur kesukaan kalian,lho,” kata Nani. Neni adik pertamanya segera mengambil piring. Mereka makan bertiga.”Kok, Kakak hanya pindang? Kecil lagi,” tanya Doni, adik bungsunya saat ketiga bungkus nasi dibuka. “Iya, lagi males makan telur,” katanya membohongi diri.

Matahari telah telanjang. Terik membakar kepala. Dengan langkah pasti, Nani berjalan di taman kota yang tak jauh dari sekolahnya. Peralatan semir sepatu ada di tas punggung kecilnya. Ia menawarkan jasa kepada setiap orang yang sedang bersantai di taman itu. Tetiba, mata Nani melihat dompet di bawah kaki kursi di sudut taman. Diambilnya dompet itu, lalu dibuka. Ada berlembar-lembar uang kertas merah dan biru. Dibaca KTP di dalamnya, kemudian dimasukkannya dompet itu ke dalam tas.”Ah, hari sudah sore. Lebih baik aku kembalikan dompet ini. Kalau tidak salah, alamat rumahnya dekat taman ini,” kata Nani dalam hati. Segera, ia mencari alamat tersebut. Tak berapa lama, ia menemukan rumah yang dicari.Dibunyikannya bel yang ada di balik pagar. Selang beberapa saat, seorang wanita, kira-kira sebaya dengan almarhumah ibunya keluar membukakan pagar. Terkesiap jantung Nani melihat perempuan mirip sekali dengan ibunya. “Ibu?” lirih suara Nani. Perempuan itu juga tak sama terkejutnya ketika memlihat locket yang tergantung di leher Nani. “Tari?” kata perempuan itu menyebut nama ibuku. Segera perempuan itu membuka locket warisan ibu. Dibukanya locket itu. “Kamu anak Tari saudara kembarku?” tanyanya lebih keras sambil memelukku. Tangisku tertumpah. Ternyata, aku punya keluarga lain. Ibu tak pernah cerita jika punya kembaran. Perempuan itu juga menangis tersedu setelah mendengar kisah ayah dan ibu.

(Kontributor: Yustinus Budi Setyanta, S.Pd.,M.Pd.)

 

 

Sumber gambar: www.google.com

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini