/1999/
Di puncak keramaian stasiun kereta
Berbondong-bondong orang menyeruak masuk ke gerbong
Di tengah manusia berlalu lalang
Aku menapakkan kaki dengan tenang;
Setenang air yang mendiami pusara kedamaian
Lalu aku melihatmu-
Si kulit sawo matang yang memiliki mata pekat;
lebih pekat dari langit malam yang ditinggalkan rembulan
Sunggingan senyum tipismu meraupkan akal sehatku
Serta merta jantungku berdegup kencang-
hingga kurasa sanggup mengalahkan raungan mesin kereta
/2000/
Pada tahun yang berbeda, aku melihatmu kembali
Di tengah keramaian, lagi.
Senyum itu, senyum favoritku yang kala itu kulihat; kini menampakkan wujudnya tanpa malu di depanku
Sembari jemarimu mengambil popcorn cokelat favoritmu itu , kau berkata;
“Apakah takdir atau radar yang selalu mempertemukan kita?”
Radar, kau bilang;
Ialah titisan Sang Dewa Neptunus- kerap kali disebut Radar Neptunus
Jarak itu hal tabu bagi Sang Neptunus, kau bilang
Kalau begitu adanya, aku rela membayar apapun agar menjadi Agen Neptunus- penghilang jarak
/2004/
Tahun kesekian kau menghilang-
sejak pembicaraan malam itu
Sendirian, kujalari setiap malam senyap
Memupuk harapan akan radar yang katanya mempertemukan kita
Manakah Sang Dewa Neptunus?
Yang katanya memberikan radarnya untuk penghilang jarak kita
Oh, mungkinkah radar itu hilang?
Pada siapa lagi aku harus meminjam radar untuk melihat mata teduhmu- barang sedetik pun?
/2005/
Disinilah aku, masih mencari radar untuk menemukanmu
Hatiku menjerit sedih menyaksikan lubang kenangan semakin menganga
Lantunan aksara-aksara kerinduan pun tak jua membawa radarku kembali
Bak tombak yang kehilangan arah,
Aku berlari dalam keputusasaan
Mungkin bukan aku radar yang sedang kau cari
Kini, aku pun mafhum.
Inspired by novel Perahu Kertas – Dee Lestari
(Kontributor : Natasha Zephania, Alumni Siswi XII IPA 4, SMA Santa Maria Surabaya)
Ilustrasi gambar: www.google.com