|
Jika mengenang kembali masa laluku, aku termasuk anak yang diberikan hidayah oleh-Nya. Aku berada dalam sukacita dan terkadang meneteskan air mata sendiri saat merasa terharu. Ya, dulu waktu masih duduk di bangku SD, terkadang aku ingin menjerit melengkingkan suaraku sebagai tanda kekesalanku. Bagaimana tidak. Aku termasuk anak yang dilahirkan dari keluarga yang cukup memadai untuk ukuran biaya sekolah, namun itu tak dapat aku nikmati. Dan yang lebih menyakitkan hatiku, beberapa temanku hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan, tapi orangtua mereka sangat mengerti tentang pentingnya pendidikan.
“Terlanjur kita yang merasakan betapa sulitnya hidup ini karena dahulu kita tidak bersekolah, jangan sampai anak-anak kita kelak mengalami hal yang sama.” Demikian pernyataan yang sering kudengar dalam pertemuan guru dan orangtua siswa di sekolah. Kalimat itu selalu dilontarkan Pak Rahmat, kepala sekolahku di SD, untuk mengubah pola pikir masyarakat di desaku. Tapi itulah kenyataannya, sebagian orangtua siswa hanya mendengar saja, sesudah itu pulang ke rumah dan sibuk dengan urusan sawah, kebun, sapi, dan berbagai mata pencaharian lainnya. Tidak ada respon. Salah seorang di antara mereka adalah ayahku. Baginya, ungkapan itu bagai angin yang berlalu saja.
Jujur kuakui, tak pantas aku menceritakan semua ini. Tapi aku ceritakan juga sebagai luapan rasa gembiraku karena aku mampu keluar dari kemelut saat itu. Kini aku sudah duduk di bangku kelas 8 di salah satu sekolah favorit di kotaku. Sebuah impian yang selalu terhalang karena adat dan tradisi desaku. Boleh jadi, apa yang kualami ini juga dialami oleh anak-anak seusiaku di tempat lain.
O iya. Namaku Isrul. Aku lahir dan tinggal di pelosok desa. Berhubung desaku terpencil dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, maka tradisi dan adat-istiadatnya masih sangat kental. Tapi yang namanya pendidikan, hampir semua orang tua di desakau tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah, termasuk ayah dan ibuku.
“Dulu tidak ada sekolah di desa ini.” Itulah jawaban ayahku ketika aku menanyakan perihal sekolah.
Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban itu. Dalam benakku, terlintas pikiran bahwa di kota kecamatan pasti ada sekolah. Tapi kalau pernyataan itu kuajukan, maka sudah pasti mata ayahku melotot sambil berkata, “Matempo to anana’, ye. Sudah, jangan banyak bicara, tahu apa kau tempo dulu.” Ungkapan ini memang sudah tersimpan di otak hampir seluruh orangtua di desaku. Jika mendengar kata matempo, anak-anak terpaksa bungkam. Sudah menjadi tradisi di desaku, bahwa semua perkataan orangtua sifatnya mutlak. Menentang orangtua adalah tabu. Anak yang menentang orangtua bahkan dianggap kurang ajar. Jika ayahku sudah menetapkan keputusannya, maka ibu menurut pula. Merah kata ayahku, merah pula kata ibuku. Lagi-lagi dalam tradisi desaku, isteri wajib menuruti kata dan kemauan suami. Isteri adalah makmun yang wajib mengamini imam selesai melantunkan Surah Al-Fatihah.
Meski sekarang kondisi desaku sudah mulai berkembang, namun pola pikir ayahku masih belum berubah. Urusan pendidikan belum diutamakan. Inilah yang mengganjal pikiranku saat aku menyampaikan niatku untuk melanjutkan pendidikan di kota.
“Sudahlah, Nak. Turuti saja kata ayahmu,” demikian kata ibu. “Bu, saya mau sekolah di kota,” kataku mengiba.
“Untuk apa kau sekolah di kota? Di desa sebelah kan sudah ada SMP.”
Sudah kuduga bahwa ibuku pasti berpihak kepada ayahku. Apalagi ibuku tahu bahwa di desa sebelah sudah ada SMP Satap. Sekolah ini menggunakan gedung SD sebagai tempat belajar.
“SMP di sini tidak sama dengan SMP di kota, Bu.”
“Ah kau itu, ada-ada saja jawabanmu, di kota namanya SMP, di sini juga namanya SMP. Apanya yang tidak sama?”
“Namanya memang sama, Bu. Tapi cara belajarnya tidak sama.” “Memangnya di kota belajar apa?”
“Anu, Bu.”
“Ah, sudah. Itu sapi belum minum, lebih baik kau ambil ember lalu ambil air dari sumur. Sebentar lagi ayahmu pulang. Ia akan marah jika tahu sapi itu belum kau berikan air,” itulah jawaban pamungkas ibu.
Meskipun aku kesal dengan sikap ibu, itu kulakukan juga. Pernah suatu ketika aku meluapkan kekesalan dengan menyumpahi sapi-sapi itu. Waktu itu, sempat kulirik raut muka ibuku tampak kecewa dengan sikapku.
Namun ibu masih memberikan jawaban halus. “Kalau sapi itu kaupelihara dengan baik lalu dijual, uangnya untuk kau juga,” kata ibu.
Kalau jawaban seperti itu sudah keluar dari mulut ibu, maka sudah pasti tidak ada toleransi lagi. Kecuali kalau aku mau dikatakan anak matempo.
Itulah sepenggal kisahku yang nyaris menggagalkan aku melanjutkan sekolah di kota.
***
Peringatan Hardiknas merupakan awal penyebab terbukanya pintu hati ayahku untuk merespon keinginanku bersekolah di kota. Saat itu dilaksanakan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah pemilihan siswa berprestasi tingkat kecamatan. Semua sekolah diisyaratkan mengutus perwakilan untuk berlomba. Dari sekolahku, aku yang diutus. Seleksi siswa berprestasi dimulai dari tes pengetahuan, meliputi Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Tes selanjutnya adalah Hasta Karya.
Menjelang lomba, Bu Sahida, guru kelasku, memberiku bimbingan. Bahkan aku diminta untuk datang ke sekolah sore hari. Ya, seperti yang kukisahkan pada awal cerita ini, tidak semudah itu untuk minta izin ke sekolah mengikuti kegiatan sore. Setiap hari, sepulang sekolah aku menghabiskan waktu di sawah atau di kebun membantu orangtuaku. Tak pelak lagi, jika waktu panen kadang orangtuaku tak peduli dengan kegiatan sekolah.
“Rul, nanti ikut ke sawah, ya!”
“Tapi, Yah, sore ini aku mau ke sekolah.” “Ke sekolah, untuk apa? Ini kan sudah sore.” “Mau belajar sore, Yah.”
“Apa tidak cukup waktu belajarmu pagi sampai siang?”
“Kata guruku aku akan diutus mengikuti lomba siswa berprestasi.
Aku mendapat tambahan belajar di sore hari.”
“Ah, ada-ada saja alasan kau. Sudah, jangan banyak bicara, ikut ke sawah.”
“Tapi, Yah….”
“E…. gurumu itu orang desa ini juga. Pasti tahu bahwa saat ini musim maddongi. Besok kau menghadap, sampaikan bahwa kau membantu Ayah di sawah. Nah, pasti gurumu mengerti mengapa kamu tidak ke sekolah.” Aku terpana. Jawaban ayah benar-benar membuatku hampir menangis histeris. Bagaimana tidak. Lomba semakin dekat, sementara masih banyak materi yang belum aku paham. Terbayang aku akan hancur dan tidak bisa bersaing dengan siswa sekolah lain. Ingin rasanya aku berteriak agar ayahku tahu bagaimana kacaunya pikiranku. Namun aku sadar bahwa ini adalah perbuatan yang tidak akan menyelesaikan masalah. Malah akan semakin membuat ayahku geram. Otakku terus berpikir untuk mencari solusi terbaik. Sambil berjalan mengikuti ayah dari belakang, aku mulai menyusun strategi. ”Bagaimana kalau aku ke rumah iyye’-ku, menyampaikan masalahku ini. Ya, hanya dia yang mampu menunddukkan ayah.”
Esok harinya, sepulang sekolah aku tidak langsung pulang ke rumah.
Kuayunkan sepedaku menuju rumah iyye’-ku. “Rul, kenapa kamu lesu,” tanyanya.
“Anu, Iyye’, mungkin nanti aku tidak dapat rangking.”
Mendengar kata ranking, sudah pasti iyye’-ku akan merespon perkataanku. Sebenarnya, yang mau kuajukan adalah masalah lomba. Tapi apa boleh buat, terpaksa itu yang kukatakan karena iyye’-ku tidak paham siswa berprestasi. Iyye’-ku cuma tahu istilah rangking. Dalam pikirannya rangking itu berarti pintar.
“Wah, kenapa kamu tidak bisa rangking?”
“Karena akhir-akhir ini ayah sering ajak Isrul ke sawah. Jadi, banyak pelajaran yang Isrul tidak ketahui.”
“Ya sudah, tidak usah sedih. Nanti kusampaikan pada ayahmu. Kau ke dalam, makan dulu lalu pulang.”
Benar juga. Malam harinya iyye’-ku datang menemui ayah. Aku pura- pura tidur dan mulai memasang telinga untuk menyimak pembicaraan mereka. Kudengar suara ayahku membalas salam sambil menuju pintu.
“Poleki mabbere jama’ Etta,” kudengar suara bapak menyapa iyye’–
ku.
“Iya, sekalian ketemu Pak Dusun.” “Ada apa dengan Pak Dusun.” “Itu, persiapan tudang sipulung.”
Agaknya pembicaraan iyye’ dengan ayah belum mengarah ke pokok persoalanku. Aku mulai kesal campur gelisah. ”Ah, mengapa iyye’ belum juga membicarakan perihal sekolahku,”keluhku dalam hati.Kegelisahanku bertambah saat ibuku keluar dari bilik dapur dan bergabung dalam pembicaraan iyye’ dan bapak. Malah pembicaraan mereka bertiga justru semakin jauh dari apa yang kutunggu. Aku mencoba berpikir bagaimana memancing perhatian mereka agar pembicaaan mereka berpindah ke masalahku. Kurebahkan pelan-pelan kepalaku, lalu pura-pura menggeliat sambil mengeluarkan suara geliat: “Akhhh….”
“Isrul, Tetta Dari tadi tertidur, mungkin capek dari sawah,” kata ayah.
Siasatku berhasil. Ingin rasanya aku melompat kegirangan. Pelan- pelan aku bangkit. Tiba-tiba aku mendengar iyye’ mulai menyampaikan kepada ayah perihal masalahku. Kumaksimalkan pendengaranku. Ya, Allah, berikanlah rahmat-Mu pada hamba-Mu ini,” doaku dalam hati. Dari bilik kamar aku mendengar iyye’ mulai menyampaikan apa yang kukeluhkan.
“Jangan terlalu memaksa anakmu bekerja. Dia kan masih anak-anak, lagi pula dia bersekolah.” Demikian nasihat iyye’ kepada ayah.
“Bukan memaksa, Tetta. Saya hanya mengajarkan untuk pembiasaan tidak malas, seperti halnya Tetta yang selalu mengajarkan saya dulu,” kata ayah.
“Iya, tindakanmu itu tidak salah, tapi masa saat kau masih anak-anak sudah tidak sama dengan masa anak-anak sekarang.”
Lanjutan percakapan antara iyye’ dan ayahku sudah tidak kuingat lagi. Yang kuingat bahwa iyye’-ku gagal meyakinkan ayahku. Aku memenangis tanpa suara, takut ketahuan. Bantalku basah oleh linangan airmataku.
Esok harinya, aku menghadap Bu Sahida, menyampaikan bahwa aku tidak bisa ke sekolah sore hari. Alhamdullilah, Bu Sahida cukup bijaksana. Dia memberiku bahan lomba untuk dipelajari di rumah.
Semua bahan tersebut aku bawa ke sawah. Aku membantu ayah di sawah. Tugasku adalah duduk di dangau mengusir sekawanan burung pipit yang hinggap di batang padi. Ya, itulah salah satu bagian pekerjaan petani di desaku. Saat padi mulai menguning, petani sudah disibukkan dengan kegiatan ini. Benar memang, sebab jika tidak maka petani akan terancam gagal panen karena buah padinya dimakan burung pipit.
Beruntung, karena tugasku kali ini adalah maddongi saja, sementara ayahku keliling dari petak satu ke petak lain menyiangi padi. Di atas dangau, sambil menjalankan tugas dari ayahku, kubuka bahan lomba yang diberikan guruku. Kadang-kadang pikiranku terpusat pada bacaaanku, sehingga perhatianku luput akan burung-burung yang lahap memakan butir padi. Aku baru sadar saat ayahku berteriak dari pematang sawah. Cepat-cepat tanganku meraih tali yang terpasang di tiang dangau.
“Heyaaa….” Aku berteriak lengking sambil menarik tali kelentang. Terdengar bunyi dari kelentang satu ke kelentang lain bertalu-talu. Kawanan burung pipit itu pun beterbangan. Hal itu kulakukan pada empat tali yang masing-masing mengarah ke empat arah. Setiap tali kutarik berkali-kali membuat lenganku terasa pegal dan suaraku hampir parau. Tapi semua itu kulakukan demi mewujudkan mimpi-mimpiku. Ya, menjadi juara.
Merasa bahan yang diberikan Bu Sahida cukup aku kuasai, perhatianku kualihkan pada hasta karya. Aku berpikir keras hasta karya apa yang akan kupresentasikan pada lomba nanti. Meminta uang untuk membeli bahan tidak mungkin. Selain kendala ayahku, jarak ke kota untuk membelinya pun sangat jauh. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada tellang yang tumbuh subur di pesisir saluran air menuju ke sawah. Kutebang beberapa batang dan kukeringkan dekat dangau.
“Untuk apa itu, Rul,” tanya ayah saat melintas dekat batang tellang yang kukeringkan.Otakku secepatnya berspekulasi, ”Mau buat sangkar burung, Yah.” “Di rumah kan sudah ada kau punya,” kata ayah.
“Mau buat model baru, Yah. “Yang di rumah, modelnya sudah banyak yang sama yang dimiliki teman-temanku.”
“Ya sudah, buat saja. Tapi ingat jangan sampai kau lupa tarik kelentang itu,” jawab ayah.
Kali ini aku mendapat jawaban yang menyenangkan dari ayah. Ya, orang-orang tua di desaku memang sudah mengerti akan kegemaran anak-anak membuat sangkar burung jika musim maddongi tiba. Anak-anak di desaku ramai-ramai membuat sangkar burung yang megah. Aneka model sangkar burung miniatur rumah tergantung di teras rumah. Anak-anak yang belum mampu membuat sangkar, akan merengek kepada orang tuanya agar dibuatkan. Kami biasanya membuat dua sangkar. Satu sangkar jebakan dan satu lagi sangkar piaraan. Sangkar jebakan kami pasang di atas pohon yang tumbuh di sekitar pematang sawah. Jika burung pipit sudah masuk dan terjebak, lalu kami pindahkan ke sangkar piaraan.
Sengaja kuceritakan sedikit kebiasan musiman tersebut di desaku, untuk menjelaskan bahwa kalau aku menyatakan pada ayahku mau membuat hasta karya untuk lomba, maka sudah pasti jawabannya “jama- jamang de’ gaga wassele’na” (“pekerjaan tak berhasil guna”). Tapi jika aku menyampaikan sangkar burung, ia akan menurut.
Tibalah saatnya aku berlomba, aku diantar oleh Pak Rahmat, kepala sekolahku, dan Bu Sahida, guru kelasku. Bu Sahida menenteng hasta karyaku yang sebelumnya sudah dikemas dengan menggunakan bekas kardus indomie. Dalam perjalanan tak henti-hentinya kedua guruku itu memberikan motivasi dan semangat. Bahkan berjanji, jika aku juara, mereka akan membantuku meyakinkan ayahku agar aku bisa lanjut sekolah di kota.
Seperti dugaanku, bahwa aku pasti akan menemukan persaingan yang lebih ketat dibanding dengan di sekolahku. Aku bertemu dengan siswa jempolan dari berbagai sekolah di wilayah kecamatan. Aku bertemu dengan siswa perempuan yang penampilannya sudah menunjukkan kepintarannya. Namanya Anisah. Kacamatanya tebal; badannya agak kurus, sepertinya lebih senang belajar daripada makan dan mungkin kurang tidur saking seringnya belajar. Aku juga bertemu dengan Munawar, seorang laki-laki dengan penampilan cuek. Dari seragam sekolah yang dia pakai, aku menebak bahwa ia dari salah satu sekolah yang berdomisili di ibukota kecamatan. Sejak datang ia hanya duduk. Matanya melolot ke buku yang dipegangnya. Keseriusannya belajar seperti kobaran api yang takkan padam oleh siraman air.
Selain nama yang kusebutkan di atas, aku juga mengenal Anwar. Orangnya mudah dikenal karena humoris dan suka bertingkah lucu. Karena humorisnya itu, sekejap ia mejadi populer. Pertemuanku dengannya bermula saat salah seorang guru menanyakan cita-cita Anwar.
“Apa cita-citamu?” tanya guru tersebut.
“Mau jadi astronot dan menginjakkan kaki di matahari,” jawab Anwar.
“Wah tidak mungkin, kau akan terbakar,” kata sang guru.
“Saya akan naik ke matahari pada malam hari,” jawab Anwar. Jawaban Anwarsontakmembuatorangdisekitarnyatertawatekekeh.
Saat kutanyakan tentang sikap Anwar pada Bu Sahida, ia mengatakan bahwa kadang-kadang memang ada anak yang pintar karena kepribadian humorisnya.
Aku tidak sempat lagi mengenal lebih jauh satu persatu teman pesaingku, karena tiba-tiba lonceng berbunyi tanda dimulainya tes tertulis. Aku pamit pada Pak Rahmat dan Bu Sahida. Sebelum masuk ruangan, Bu Sahida menepuk-nepuk pundakku sementara Pak Rahmat mengelus-elus kepalaku. Sebuah perlakuan yang membuatku tegar bersemangat. Terasa sekali, seakan ada dorongan untuk berjanji bahwa aku tidak akan mengecewakan mereka. Kuraih soal yang ada di depanku, lalu kutundukkan kepalaku sambil berdoa dalam hati.
Waktu 150 menit berlalu tepat saat bel tanda ujian tulis berakhir. Panitia lalu menghampiri kami, mengumpulkan lembar soal dan jawaban satu per satu. Kuserahkan lembar soal dan jawabanku dengan tangan gemetar. Panitia yang menerima pun tersenyum melihat tingkahku itu. Pandanganku kuarahkan ke pintu ruangan, terlihat guru-guru pendamping berdesakan, seakan tak sabar ingin menjemput siswa masing-masing.
Aku keluar dari ruangan. Seperti guru lain, Bu Sahida pun menjemputku dengan pertanyaan, “Bagaimana pekerjaanmu, Rul.”
Aku menghela nafas panjang. ”Cukup sulit, tapi kujawab semua, Bu.”
“Ya, mudah-mudahan banyak jawabanmu benar.”
Aku tak mampu menatap lama raut wajah guruku itu. Terlihat olehku raut muka yang cemas-cemas berharap. Batinku mampu membaca betapa malu dan kecewanya guruku itu jika aku berada di peringkat terakhir.
Sejam kemudian, hasil ujian diumumkan. Dari balik kaca jendela, panitia hanya menempelkan peringkat 1 sampai 10. Betapa girangnya Bu Sahida saat mengetahui bahwa namaku berada di urutan ke-2 dari 10 peserta terbaik. Bu Sahida memeluk erat tubuhku. Tak ketinggalan tangan Pak Rahmat kembali mengusap kepalaku. Ketika kutanyakan siapa yang urutan pertama, Pak Rahmat menyebut nama si pemilik kacamata tebal. Kami dikumpulkan kembali untuk mengikuti tahap seleksi berikutnya. Kali ini setiap peserta tampil mempresentasikan hasta karyanya. Bu Sahida, menyodorkan hasta karyaku.
“Kamu punya kesempatan juara satu, Rul.” Lagi-lagi Bu Sahida memberiku semangat. ”Jangan gugup saat berbicara, tetap tenang,” lanjutnya.
“Iya, Bu,” jawabku.
Saat yang mendebarkan tiba. Setelah diundi, urutan pertama yang tampil adalah Anisah, Si Kacamata Tebal, di susul Si Humoris, Anwar. Semetara, aku urutan ketiga. Anisah menampilkan bunga yang terbuat dari pipet minuman, sementara Anwar menampilkan miniatur rumah bersusun yang terbuat dari spons gabus. Melihat karya kedua temanku itu, aku merasa sedikit minder. Betapa tidak, karya kedua temanku itu begitu mempesona. Namun, terbayang wajah kedua guruku yang sangat berharap pada diriku. Itu membuat aku berusaha untuk membangun kembali nyaliku yang hampir runtuh. Saat giliranku tiba, kukeluarkan karyaku dari kardus. Sesuai dengan arahan panitia, kujelaskan sekilas tentang karyaku itu. Termasuk ketika panitia bertanya tentang alat dan bahan, cara membuat, dan fungsinya. Semua itu aku lalui dengan lancar, karena memang pada dasarnya aku sudah terbiasa mencari bahan dan membuat jebakan burung pipit yang berminiatur rumah.
Satu per satu peserta tampil di depan mempresentasikan hasil karyanya. Selesai waktu presentasi, kami pun kembali menunggu hasil keputusan panitia. Inilah penantian yang paling mendebarkan. Panitia akan mengakumulasi nilai ujian tertulis dan nilai hasta karya dan dari akumulasi itu, panitia menetapkan juara satu sampai tiga. Peserta yang berhasil meraih peringkat pertama akan mewakili kecamatan ke tingkat kabupaten. Aku duduk di samping Bu Sahida. Tak hentinya-hentinya batinku berdoa, memohon kepada Tuhan semoga dapat juara. Kulirik Bu Sahida, tampak tenang dan tersenyum. Namun hati kecilku menyatakan bahwa di balik senyumnya itu, berkecamuk rasa cemas dan harap.
Seorang yang mengenakan stelan jas dan dasi, keluar dari ruangan disusul beberapa panitia. Dari keterangan Bu Sahida, kutahu bahwa beliau adalah Kepala UPTD Pendidikan di kecamatanku. Betapa girang dan bahagianya kami bertiga. Saat Kepala UPTD menyebut namaku sebagai peringkat pertama. Aku lalu menangis, saat Bu Sahida memelukku sambil meneteskan airmata bahagianya. Lagi-lagi usapan lembut Pak Rahmat kurasakan di kepalaku. Sebuah piala dan selembar piagam serta buku- buku bacaan kuterima.
Saat tiba di rumah, aku berlari menemui ibuku dan menceritakan bahwa aku juara satu. Mulanya ia tidak percaya, tapi melihat piala dan piagam yang kupegang, ibuku menangis dan memelukku. ”Ayahmu akan bangga, Rul,” kata ibu saat melepas pelukannya. Aku pamit sama ibu, untuk menemui ayahku yang masih berada di sawah. Aku berlari menelusuri pematang sawah sambil memeluk erat pialaku.
“Ayaaaah… aku juara satu,” teriakku saat tiba di dekat dangau.
Dari atas dangau, ayahku menjulurkan tangannya meminta piala yang masih kudekap. Aku lalu bercerita panjang tentang bagaimana perjuanganku saat lomba, termasuk menceritakan bahwa aku akan berlomba kembali di tingkat kabupaten. Mata ayahku tak berkedip memandang piala itu. Ia lalu menarik nafas`panjang dan menatapku.
“Rul, kau betul-betul mau sekolah di kota.” “Iya, Ayah. Mau sekali,” jawabku spontan.
“Kalau kau dapat juara di kabupaten, aku izinkan.”
Betapa gembiranya aku mendengar penyataan ayahku. Aku lalu meluapkan kegembiraanku menarik tali kelentang.
“Heyaaaaaa… aku akan melanjutkan sekolah….” “Heyaaaaaa… sekolah di kota….”
“Heyaaaaaa…. Heyaaaaaa….”
Kulihat ayahku tersenyum geli melihat tingkahku. Sarungyang melilit di pundaknya dilepaskannya, lalu salah satu ujungya digantungkan di dangau sehingga menyerupai ayunan bayi. Diambilnya pialaku itu, diusap dan disimpan dalam ayunan sarung tersebut. ”Nanti jatuh dan pecah,” katanya.
“Heyaaaaa… ayahku memang hebat….” “Heyaaaaa… terima kasih, Ayah….”
Tak henti-hentinya aku berteriak dan menarik tali kelentang, sampai ayah menegurku.
“Rul, kalau kau terus begitu, dangau ini bisa roboh,” kata ayah.
Inilah berkah luar biasa dan menjadi kejutan bagiku sepulang lomba di kecamatan. Aku lalu menjadi selebriti di desaku. Sejak itulah aku semakin giat belajar, memperbaiki prestasiku. Aku belajar sungguh- sungguh untuk mencapai mimpiku. Pulang sekolah, kuisi tasku dengan buku, lalu menuju sawah. Di atas dangau aku mengasah pengetahuanku dengan membaca.
Di kabupaten, meski aku kalah bersaing untuk meraih peringkat pertama, aku masih berhasil meraih peringkat ketiga. Kembali piala kabupaten kularikan ke dangau. Ayahku tambah yakin akan kemampuanku. Sedikit demi sedikit aku memperbaiki prestasiku. Alhamdulillah berkat usaha itu aku mendapat peringkat satu dikelasku sampai aku tamat di SD dengan predikat terbaik.
“Hebat kamu ya, Rul. Kamu anak yang tidak mudah menyerah,” kata Pak Rahmat.
“Terimakasih. Itu semua berkat dukungan Bapak,” jawabku.
***
Menjadi siswa di sekolah favorit adalah kebangaan tersendiri. Kebanggaan itu muncul dari rasa kepuasan atas hasil proses panjang yang di dalamnya melibatkan kerja keras, kesabaran, kedisiplinan, dan mental yang pantang menyerah. Resmi menjadi siswa di sekolah favorit,
aku semakin giat belajar. Besyukur pada Allah Swt., aku mampu meraih peringkat 1 di kelasku. Saat kenaikan tingkat ke kelas 8, diumumkan peringkat 10 besar. Namaku menempati urutan pertama. Di kelas 8, aku mulai bergabung di organisasi kesiswaan yang dibina oleh sekolahku. Aku memilih organisasi Sanggar Seni Sastra dan Karya Ilmiah Remaja. Sekali dalam seminggu, aku dijemput ayah, pulang ke desaku untuk melepas kerinduan ibuku. Kata ayah, jika hari Sabtu, ibuku selalu mengingatkan ayah untuk menjemputku. [*]
Catatan
Anana’ : anak-anak
Iyye’ : sapaan kepada kakek
Mabbere jama : solat berjamaah
Maddongi : mengusir burung (saat buah padi mulai menguning)
Matempo : pembicaraan/perlakuan tanpa kesepakatan orangtua (lancang)
Pole’ki : dari…
Etta / Tetta : sapaan untuk orangtua (Ayah)
(Kontributor: Muhammad Isrul, Karya Cerpen Pemenang Juara I Lomba Penulisan Cerpen Remaja Tingkat Nasional 2015)
Sumber: kemdikbud, 2016