“Kamu sudah edit esai yang akan diunggah besok?” 

“Nah ini, diksi puisinya ada yang salah ketik. Perbaiki lagi, teman!”

“Intinya, artikel itu jangan hoax ya, tapi harus fakta!”

Beragam kabar pesan di atas, kini hampir setiap harinya menjejali obrolan seru di grup chat Jurnalistik Krisan Online atau biasa disingkat (J.Ko).” J.Ko adalah forum berbagi informasi antarteman sebagai ajang diskusi karya-karya tulis yang akan ditayangkan di media digital berita sekolah pada laman www.krisanonline.com. Peserta grup chat sebagian besar adalah pelajar putri karena jumlah pelajar putri memang lebih banyak dibandingkan dengan pelajar putra di sekolah kami. Sejak sekolah me-launching media informasi digital berita per 1 Februari 2019 lalu, pembelajaran literasi digital bertambah asyik. Setiap siswa berlomba-lomba membuat tulisan agar bisa ditayangkan di media digital sekolah. Setiap siswa tak mau kalah satu dengan lainnya. Setiap siswa ingin mendapatkan tambahan nilai karena karyanya telah ditayangkan. Pendidikan literasi digital sudah dimulai sejak dini. Pendidikan literasi digital sudah menjadi gerakan terstruktur. Pendidikan melek media telah menjadi bentuk kecakapan hidup di sekolah kami.

Membicarakan literasi digital yang menjadi salah satu titik utama dari Gerakan Literasi Nasional (GLN), terkhusus untuk kegiatan membaca dan menulis memang telah menjadi perhatian khusus di sekolah kami. Merujuk pada National Institute of Literacy disebutkan bahwa definisi literasi itu sebenarnya tidak sebatas membaca dan menulis semata, tapi mencakup berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah. Namun, sekolah kami sungguh-sungguh memfokuskan bahwa kegiatan membaca dan menulis itu bak dua sejoli yang tak bisa dipisahkan. Artinya, bila kita dapat membaca secara intensif setiap harinya, dapat dipastikan kita pun dapat menjadi penulis yang baik. Oleh karena, penulis yang baik bisa diperoleh karena kesukaannya membaca.

Bermula sebagai keanggotaan dalam forum chat J.KO di sekolah, saya mempunyai mimpi untuk terus mengembangkan kecakapan hidup dalam hal literasi digital bersama para pelajar putri di seluruh Indonesia. Literasi digital merupakan salah satu kecakapan hidup yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia setiap harinya. Siapa saja dituntut untuk bisa menguasai teknologi agar dapat menyesuaikan diri di era revlolusi industri 4.0. Namun, apa mau dikata. Stereotip itu sampai sekarang masih selalu ada, seperti “Kaum perempuan itu selalu gagap teknologi dan pekerjaan yang berbau teknologi, hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.” Tentu saja pemikiran demikian tidak tepat dan harus segera diluruskan.

Pada dasarnya sarana dan ruang digital itu dapat dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang gender. Perempuan yang notabene dahulunya identik dengan aktivitas membersihkan rumah atau mengurus anak, kini saatnya keluar dari cangkangnya. Kita semua pantas beterima kasih pada Raden Ajeng Kartini. Ada secercah cahaya dari perjuangan beliau yang luar biasa. Perjuangan yang telah mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan di Indonesia. Romantisme sejarah itu telah menorehkan tinta emas. Perempuan-perempuan era kini mengaku bangga sebagai generasi penerus Kartini. Ya, Kartini pada masa kini memiliki ‘rasa’ yang berbeda dengan yang dulu. Saat ini, Kartini-kartini Indonesia jauh lebih inisiatif, inspiratif, dan kreatif yang mampu sejajar dengan kaum pria. Kemajuan yang diraih oleh Kartini-kartini Indonesia telah tumbuh lebih baik. Kartini-kartini Indonesia telah terbiasa tampil sebagai pemimpin-pemimpin andal, pemikir-pemikir yang cerdas, dan pengambil kebijakan-kebijakan yang strategis.

Merujuk pada hasil penelitian Harvard Business Review 2020 perempuan di masa krisis saat pandemi, ternyata bisa menjadi pemimpin yang jauh lebih efektif. Misalnya, perempuan menjadi lebih cepat bisa belajar tentang segala hal, termasuk di dalamnya berkaitan dengan literasi digital. Perempuan lebih peka dan lebih inisiatif dalam mengambil keputusan-keptusan penting. Perempuan juga bisa lebih bisa menginspirasi bagi orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya.  Sementara, bila merunut pada laman data dan tren tentang internet global We Are Social, Januari 2022, perempuan menghabiskan waktu untuk bermedia sosial selama 193 menit/hari. Hal ini terjadi pada kelompok usia produktif sekolah/belajar untuk rentang umur 16-24 tahun,. Besaran waktu yang dihabiskan dalam mengakses media sosial atau melek digital per harinya tyelah membuktikan bahwa perempuan di dunia, ternyata aktif interaktif ber literasi digital.

Menilik pemanfaatan sarana literasi digital bagi perempuan sebagai ajang aktualisasi diri, sebenarnya telah tersedia dengan baik.  Apalagi, perempuan di zaman sekarang  telah terlahir dalam generasi natif teknologi (digital native). Artinya, berbicara tentang digital native bagi mereka, bukanlah hal yang baru. Oleh karena, mereka sudah mengenalnya sejak lahir. Mereka telah tumbuh dalam era digital yang sesungguhnya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara.” Dari definisi tersebut cukup jelas kiranya bahwa pendidikan literasi digital untuk kecakapan hidup dalam dunia pendidikan di sekolah telah ada bagi siapa saja dan sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia.

Gayung itu pun terus bersambut. Tepatnya pada momentum Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2021 lalu, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, meluncurkan Program Literasi Digital Nasional. Program ini merupakan bagian dari upaya percepatan transformasi digital, khususnya terkait pengembangan sumber daya manusia digital. Peluncuran program ini bertujuan untuk mendorong dan membantu seluruh anak bangsa agar semakin bertalenta dalam menghadapi perubahan teknologi pada masa yang akan datang. Empat kerangka yang diluncurkan dalam program ini, meliputi  Digital Skills, Digital Safety, Digital Ethics, dan Digital Culture. Nah, bagi  perempuan (baca: Kartini-kartini kecil) di lingkup sekolah, momen ini merupakan kesempatan emas sebagai sarana aktualisasi diri untuk terus berkreasi di era digital native. Pertanyaanya, bagaimana caranya mendorong peran aktif Kartini-kartini kecil di lingkup sekolah-sekolah ini untuk mensukseskan program literasi digital nasional?

Pertama, membentuk KASTIL DARA (Kartini Sigap Tebar Ilmu dalam Berkarya). Sebuah forum gerakan diskusi di lingkup internal sekolah dan antarsekolah untuk  mengkampayekan visi digital skills. Artinya, melalui gerakan ini Kartini-kartini kecil di Indonesia diharapkan akan memiliki wawasan dan kompetensi yang berkembang berkaitan teknologi informasi dalam hal menerima dan menyusun isi pesan media dalam bingkai literasi digital. Hal ini selaras dengan pendapat dari Jane Tallim yang menyatakan bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Kemampuan untuk mengakses, menyusun, dan mengkomunikasikan pesan dengan baik dan efektif menjadi sangat penting yang harus dikuasai oleh siapa saja. Nah, melalui perjuangan Kartini-kartini kecil yang diawali dari lingkup sekolah ini, mereka dapat membuat beragam karya tulisnya yang menginspirasi. Misalnya, esai, cerpen, puisi, poster, tips-tips pembelajaran, sketsa, gambar, komik, dan lain-lain. Mereka mengimplementasikanya dengan menyesuaikan karakteristik sarana media yang dimiliki di lingkungan sekolahnya masing-masing. Forum KASTIL DARA diharapkan dapat mengelana sampai ke seluruh Nusantara dan bisa menjadi gerakan terstruktur yang saling menginspirasi untuk mensukseskan program literasi digital nasional.

Kedua, membangun SENSORA (Self Sensor Awareness) pada diri setiap Kartini-kartini kecil Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa terkadang pesan-pesan yang  diterima bernada pelecehan seksual, penghinaan atau ancaman fisik, pencurian identitas diri hingga munculnya ujaran kebencian yang dirasakan oleh kaum perempuan. Nah, Kartini-kartini kecil dapat bertindak sebagai Kartini-kartini yang tanggap dan cerdas. Kartini-kartini era kini pengguna media digital sejati harus mampu memilah apa yang harus dibagikan atau tidak boleh dibagikan pada ranah digital. Jangan mudah percaya terhadap segala hal yang didapatkan dalam dunia maya. Kartini-kartini kecil harus senantiasa bersikap kritis dengan apa yang diterima dan dibaca. Sharing dulu sebelum share menjadi sangat penting. Dengan begitu, Kartini-kartini kecil di Indonesia akan merasa aman untuk menjelajahi dunia digital, tanpa merasa takut untuk direndahkan. Hal ini selaras dengan konsep digital safety. Tagar #safeplaceforwomen dan #protectwomen merupakan contoh tagar yang belakangan ini cukup ramai di media sosial. Membangun dunia digital tempat para Kartini merasa nyaman dan aman adalah sebuah keniscayaan bila dilakukan secara bersama.

Ketiga, membumikan MELIDI (Melek Literasi Digital). Kartini-kartini kecil dalam lingkup sekolah harus bisa menerapkan pendidikan literasi digital yang telah didapatnya sebagai bekal kecakapan hidup yang berguna untuk diri dan di lingkunganya. Oleh karena sifatnya yang multidimensi, literasi digital harus dipahami secara menyeluruh bagi Kartini-kartini kecil. Pendidikan literasi digital harus dipahami secara terintegrasi. Artinya, melalui ranah kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir. Ranah emosi pada dimensi perasaan. Ranah estetis mengacu pada kemampuan untuk mengapresiasi digital media dari sudut pandang artistik, dan ranah moral yang mengacu pada kemampuan Kartini-kartini kecil Indonesia untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan dari literasi digital itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Digital Ethics dan Digital Culture.

Akhirnya, di atas itu semua, peran Kartini-kartini kecil dalam lingkup sekolah ini bila dikolaborasikan dengan sekolah-sekolah lain bisa menjadi kekuatan dan sarana efektif untuk mentransfer nilai dan pesan mewujudkan program literasi digital nasional. Berawal dari pendidikan literasi digital dari lingkup sederhana dari sekolah ke sekolah, akhirnya perwujudan program literasi digital nasional itu bisa menjadi kenyataan. Mari kita realisasikan program literasi digital nasional yang menjadi bekal penting kecakapan hidup untuk Kartini-kartini kecil di Indonesia. Mari kita teriakkan dengan lantang: “Kartini-kartini Kecil Penyemai Literasi Digital.”

(Kontributor: Sherilyn Phan, Siswi XII IPS, SMA Santa Maria Surabaya, Naskah Esai Pemenang Juara III Lomba Menulis Esai Kemenkominfo, 2022)

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini