Surabaya, Krisanonline.com– Kelopak mata Indira perlahan terbuka melihat pucatnya langit rumah. Angin yang dingin menerpa sudut-sudut kamar tidurnya. Jam di samping ranjang berdetak lembut, menunjukkan waktu detik ini ialah jam tiga subuh. Emasnya warna matahari masih belum datang untuk mengetuk jendela dan mengunjungi sang kamar coklat pucat. Mewarnai benda- benda berserakan di lantai. Naskah, kamera, lensa, laptop, pena, gitar, dan favorit Indira lainnya. Indira bangkit dari ranjangnya dan duduk berpindah di ujung ranjang, berdoa agar hari ini tidak akan terjadi apa-apa.
Kedua kaki Indira mulai melangkah satu per satu, membawa beratnya badan yang perlu dipikul seorang ketika baru bangun di waktu yang tidak biasa. Satu per satu ruangan ia lewati di rumah. Dari kamar mandi, ruang mesin cuci baju, ruang keluarga, hingga akhirnya tibalah di dapur. Tangan-tangan Indira mulai bergerak untuk memanaskan nasi sisa kemarin malam yang ada di meja makan. Di meja makan masih tersisa tiga potongan tempe dan di kulkas hanya tersisa panci berisikan sop sayur, beberapa butir telur, kangkung, jagung, sepotong ayam, dan air dingin. Sunyinya dapur ditemani dengan bunyi keroncongan perut Indira. Ia belum makan karena proyek-proyek film yang harus dikerjakannya sejak kemarin sore.
Berbagai bahan di kulkas mulai dimasak. Telur ceplok, ayam kecap, dan tumis kangkung perlahan-lahan disiapkan. Jari jemarinya telaten memotong-motong ayam dan meracik bumbu. Diamnya rumah terganggu dengan kesibukan dan berdesisnya panci di atas kompor.
Menuju ke ruang makan, Indira meletakkan masakan-masakan yang telah dibuatnya. Ia kemudian duduk di kursi kayu, lalu mengamati masakan apa yang ingin dinikmatinya pagi hari ini. Suara-suara sendok menatap piring dapat terdengar samar-samar. Rasa suap demi suap dikecap betul olehnya sambil melihat-lihat setiap sudut ruangan dari tempat duduknya. Semua pintu di rumah berwarnakan putihnya cat, sulit bagi orang biasa untuk membedakan ruang mana yang mana. Di luar itu, terdapat pintu spesial berhiaskan goresan-goresan yang tertutupi oleh selotip-selotip bermotif bunga.
Pintu berselotip. Ruang tidur sang ibu. Tatapan Indira terarah ke pintu itu. Entah tatapannya berupa tatapan lembut penuh simpati atau tegas berisi lelah dan amarah. Indira pun tak tahu tentang apa yang perlu dirasakannya. Nafsu makan Indira yang awalnya lahap tergesa- gesa karena kelaparan berubah lama perlama menjadi lambat. Pikiran Indira berlari kemana- mana sampai akhirnya ia tersadarkan sendiri. Tatapannya kembali fokus kepada piring plastik merahnya.
Keluarga di bawah atap rumah Jl. Pandugo No. 61 merupakan keluarga yang bahagia. Dulunya. Sebuah rumah tangga beranggotakan ibu yang lemah lembut, ayah yang penuh kasih, dan Indira, pecinta film yang disayangi kedua orang tuanya. Tahun per tahun keluarga ini memikul satu sama lain. Makan bersama sambil bercerita tentang hari mereka, jalan-jalan di sore hari mengelilingi kota dengan mobil hingga pulang di atas jam 10 malam, ketawa kesana- sini di ruang keluarga karena candaan yang hanya mereka bertiga mengerti.
“Eh, Yah, lihat itu ada orang jualan ronde. Mau mampir, ta?” tawar ibu di dalam mobil sambil menunjuk ke arah pedagang ronde kaki lima.
“Wes, gausah. Udah kemaleman. Palingan orangnya udah mau tutup.” jawab ayah sambil mengganti gigi mobil.
“Katanya kemarin mau ronde…. Mumpung lewat ya sekalian aja. Itu juga ada orang yang masih beli sama duduk-duduk.”
“Ya udah, belinya dibungkus aja. Indira juga sudah tidur di bangku belakang” “Makan ronde, tah?” Suara Indira terdengar serak karena habis terbangun dari
tidurnya.
“Loh…. Anak e wes tangi.”
Menyemangati satu sama lain ketika bekerja, mendengarkan keluhan-keluhan setelah jam kerja atau sekolah, dan pada umumnya mereka hadir untuk mengenal dua jiwa lainnya di dalam keluarga.
“Perkataan kayak gitu gausah diikutin, Ra. Yang paling tau dirimu sendiri di dunia ini cuma kamu. Kamu yang paling tau seberapa nilai dirimu sendiri. Emang orang itu tau kamu di dalem kayak gimana? Engga, kan?” kata ayahnya dengan lembut sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuknya. Indira yang masih muda terlihat mendengarkan kata-kata ayahnya dengan wajah lelah dan mata berkaca-kaca.
“Hmm…” pikirannya mulai berputar-putar. “…. Tapi aku capek-“ kata-kata Indira terpotong dengan sedakan nafas berat. Tepat setelah itu, kedua lengan Indira berusaha menutupi wajah putus asa teraliri dengan berbutir-butir air mata.
Ibu perlahan mendekatkan posisi duduknya di sofa kearah Indira untuk memeluk anaknya. Tangan kasar ibu mengusap rambut kusut anaknya dengan halus. Pundak kanan ibu mulai basah karena air mata Indira. “Oalah, Raa….” Seisi ruang keluarga hanya diisi dengan tangisan keras Indira dan nafasnya yang tidak beraturan. “Kamu kepikiran apa to, anakku?”
Keluarga yang tampak bahagia, bukan? Setidaknya seperti itu lima tahun yang lalu. Tepat ketika Indira kecil menginjak umur tiga belas tahun, banyak yang telah terjadi. Indira kecil tentunya belum dapat memproses apa yang didengarnya. Apa yang dilihatnya.
Malam hari ketika rembulan menjadi penuh, telinga Indira mendengar suara benda berat terjatuh. Indira ingin mengecek sumber suara yang membangunkan dirinya dari tidur nyenyak, yang pasti suara itu bukanlah sekedar suara benda terjatuh yang biasa. Di usianya ia masih takut dengan kegelapan, diambilnya boneka kelinci putih berukuran sedang untuk menemaninya berjalan di tengah-tengah kegelapan. Pintu putih kamar Indira terbuka, memancarkan sinar lampu yang cukup agar dapat melihat dalam lorong. Lantai lorong berasa
dingin, begitu pula kedua telapak kaki Indira yang melangkah perlahan di atasnya. Lorong panjang ini hanya diterangi oleh tiga lampu kuning yang redup, satunya mati pecah entah mengapa.
Suasana lorong semakin tidak enak, mengambil alih tubuh Indira. Tubuhnya semakin kaku dan berat karena tidak tahu suara berat apa yang membangunkannya itu. Langkah demi langkah, Indira semakin dekat dengan suara suram. Suaranya penuh sesak dan gemetar. Tidak mungkin itu adalah benda mati, pikirnya. Boneka kelinci yang dipeluk Indira tidak bisa menenangkan dirinya kali ini. Kaki kanan, lalu kaki kiri, tibalah Indira kecil di depan ruang kamar ibunya.
Meskipun Indira takut dengan apa yang ada di balik pintu, wajahnya tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. Pada wajahnya hanya ada rasa penasaran dan kantuk sisa tidurnya. Tidak lama-lama lagi, Indira meraih gagang pintu dan mendorongnya kedepan. “I-ibu?” panggilnya ragu-ragu dengan mengintip.
Tanpa mengatakan sepatah kata, Indira menangis keras. Ia tidak dapat sebegitu mengerti apa yang dilihatnya. Ia terlalu syok untuk bahkan bertanya. Tangisannya semakin terisak menjadi-jadi. Pelukan boneka yang erat menjadi lemah hingga kelinci putih itu tergeletak di lantai. Indira menutup matanya dengan kedua tangan lalu lanjut menangis lebih keras.
Langkah lain terdengar dari lorong. Sosok Ayah berlari memasuki kamar tanpa basa- basi. Berbeda dengan Indira, wajah ayahnya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Seakan dirinya sudah mengenal situasi yang dialami. Dengan tanggap Ayah mencoba untuk menggendong ibu yang tidak sadarkan diri ke ruang tamu. Pada saat yang bersamaan, ia juga memanggil ambulans di pundak kiri. Di sela-selanya, Ayah memandang Indira. Bertanya di dalam hati, mengapa anaknya harus melalui ini.
Bulan-bulan kedepan, Indira menempati rumah berdua dengan Ayahnya. Setiap sarapan pagi Indira akan menanyakan hal yang sama. “Ibu di mana?” Ayah hanya menjawab kalau Ibu sedang berada di tempat yang lebih baik. Menyembunyikan kejadian yang sebenarnya agar gadis kecilnya tidak perlu memahami dulu akan hal itu.
Bulan-bulan kedepan, hidup Indira bahagia dengan Ayahnya. Setidaknya tidak seperti bulan-bulan lalu ketika Ibu dan Ayah selalu meneriaki satu sama lain yang selalu diikuti dengan perabot yang rusak besoknya. Siapa sangka kebahagiaan itu hilang dalam sekejap ketika Ibu datang di depan rumah dengan mobil orang lain yang mengantarnya. Indira menarik-narik baju Ayah, berkata “Yah, Yah, Ibu udah pulang.”
Indira menengok ke atas untuk melihat wajah Ayah. Rasa penasaran Indira seketika membesar karena kesedihan dan putus asa yang tampak di wajah Ayah. Tanpa menyapa Ibu, Ayah mengusap-usap kepala kecil Indira lalu berjalan masuk ke dalam. Indira menghiraukan itu. Yang penting baginya adalah bahwa Ibu sudah bersama mereka sekarang.
Memasuki umur empat belas, Ayah dan Ibu bercerai. Perasaan kecil Indira terus berharap-harap kepada Tuhan agar kedua orang tuanya tidak akan berpisah. Tapi tampaknya Tuhan belum mendengarkan dirinya saat ini. Di luar rasa penasarannya, Indira tidak pernah sepenuhnya paham tentang sekelilingnya. Tentang keluarganya, tentang Ayah, tentang Ibu, tentang apa yang terjadi. Dunia gadis cilik masih terlalu kecil dan indah untuk mengerti dunia orang dewasa.
Ketika umur lima belas, Indira menghabiskan waktunya menguraikan pecahan-pecahan puzzle tentang tahun lalu. Satu bagian, lalu satu bagian, lalu satu bagian lagi. Perlahan semuanya tergambar menjadi satu. Keluarganya tampak lebih jelas sekarang. Pada malam itu Ibu jatuh tergeletak di lantai kamarnya karena overdosis narkoba. Menjelaskan bagaimana mulutnya berbusa-busa akibat pulmonary edema. Keadaan dimana cairan bocor ke rongga
paru-paru. Ayah dan Ibu sering meneriaki satu sama lain bukan karena tidak ada alasan, mereka bertengkar karena Ibu yang sering berbuat masalah terutama adiksi narkobanya. Menjelaskan tatapan Ayah yang sedih ketika Ibu pulang, karena pada dasarnya anak tidak layak untuk hidup dengan orang tua pecandu narkoba. Rasa lelah Ayah menghadapi Ibu kembali ketika kami berdua melihat kedatangan Ibu. Lelah tak tertampung, sayang, Ayah memutuskan untuk meninggalkan Indira berdua dengan Ibu pecandu narkobanya.
Sekarang Indira sudah berumur delapan belas tahun. Mungkin Ayah juga mau melupakanku juga, gumam Indira yang sudah dewasa. Indira tumbuh menjadi wanita yang kuat. Ia merupakan seorang mahasiswi perfilman di sebuah perguruan tinggi yang tidak seberapa bergengsi. Ibunya tidak dapat membiayai jika ia merantau ke kota dengan perguruan tinggi yang lebih bagus. Lagipula dirinya tidak mungkin akan bertahan dengan tagihan uang semester yang akan bergunung-gunung.
Menyiapkan kamera, naskah, laptop, dan alat tulisnya, Indira siap berangkat ke kampus. Dibawa ransel hitamnya dipundak, lalu merapikan sweater ungu besar yang dirapikannya. Sejenak Indira melihat bayangan dirinya di kaca, dalam hati menyemangati dirinya untuk tetap bertahan. Dengan hembusan nafas dalam, Indira membuka pintu kamarnya dan berjalan ke depan kamar Ibunya. (bersambung)
(Kontributor: Geraldine Angelina Prayogo, Siswi XI Bahasa, SMA Santa Maria Surabaya)