Surabaya, Krisanonline.com– Sambil meraba pintu ragu-ragu, dirinya berkata lembut, “Bu, aku berangkat.” Seperti biasa tidak ada suara dari Ibu. Sekali lagi Indira mengambil nafas dalam lalu berangkat meninggalkan rumah. Jam keluar rumah Indira bermacam-macam. Bisa saja berangkat dari jam setengah enam pagi lalu pulang jam delapan malam. Hari-harinya diisi dengan merekam, membuat naskah, menyelesaikan proyek klien, nugas, dan kegiatan seputar video lainnya. Akan tetapi, di balik itu Indira punya alasan tersendiri mengapa jam di luar rumahnya sangat lama. Ia tidak ingin terlalu melekat dengan Ibu. Berdiri di sampingnya sudah cukup menguras banyak energi.
“Ra! Ayo cepet sini!” teriak teman seproyeknya yang biasa suka mengatur-ngatur. “Nanti kamu rekaman dari sudut ini, setengah badan. Pastiin sinar mataharinya keliatan. Kalau bisa langsung bener soalnya takut makin siang.” Perintah-perintah langsung ketika tiba di lokasi sudahlah hal yang biasa. Normal bagi orang-orang baru untuk mengeluh karena arahan dan revisi yang bertubi-tubi. Stress sudah menjadi teman yang selalu mendampingi Indira ketika mengerjakan film-filmnya.
“Eh, Dan. Nanti tolong omongin ke Kanjeng kalau bagian ini perlu revisi screenplay. Aku juga mau mbenarin beberapa dulu soalnya,” pinta Indira ke Danu, teman yang mengajaknya untuk mengikuti lomba film yang dikerjakannya.
“Ih, ngapain minta sama aku, Raa. Langsung aja ke Kanjeng, ntar yang aku omongin bakal beda jauh sama apa yang kamu maksud,” pinta Danu balik.
“Yakin Kanjeng mau ndegerin aku?” Indira punya masalah sendiri dengan Kanjeng, nama sebutan bagi ketua senior perempuan yang kejamnya minta ampun. Ia lah director utama dalam proses ini sehingga semua keputusan ada di genggamannya. Pembawaan Kanjeng tenang berwibawa, namun wajahnya yang judes dan perkataanya yang singkat membawa impresi yang menakutkan. Setiap kali Indira mengusulkan idea tau memberi opini, Kanjeng hanya diam mendengarkan. Mengatakan iya atau tidak tanpa basa-basi dan tanpa arahan berikutnya. Seperti ia ingin Indira untuk langsung mengerjakan semuanya sendiri.
“Iyaa. Pasti ndegerno kok Kanjeng iku. Tak temeni wes nang sebelahe.”
Suasana rumah lokasi rekaman menjadi semakin ramai. Kira-kira bisa sampai 25 orang lebih yang sibuk dengan tugas dan peralatannya masing-masing. Cameraman, sutradara, aktor, boom operator. Petugas satu dan petugas lainnya berlalu-lalang di sekitar rumah. Indira
melangkah tergesa-gesa mencari Kanjeng sebelum dirinya dipanggil untuk mengarahkan adegan.
“Kak Iswa? Boleh ngomong sebentar sama kakak?” Iswara, sang Kanjeng sendiri, berjalan mendekati Indira, junior atau potensi penerusnya. Alis kanannya terangkat, menanyakan apa yang Indira ingin katakan.
“Untuk bagian makan rondenya, kupikir-pikir lagi lebih baik diganti, Kak. Kemarin malam baru dapat ide buat bikin adegan ibu dan anak berdansa bersama di teras. Menurutku adegan ini lebih mengena bagi penonton dan lebih emosional.” Kanjeng hanya diam mendegarkan, terkadang mengangguk kecil, melihat kertas naskah yang ditunjuk oleh Indira.“Kalau misalnya direkam dengan lagu tempo yang slow, pasti pembawaanya akan mellow, sedih, dan penonton bisa meresapi suasana hangatnya pula,” jelas Indira panjang lebar.
“Ya, lanjutin aja yang kamu mau.”
“Ah, oke, Kak. Makasih.” Danu menepuk pundak Indira sebagai rasa bangga. Indira lega dengan persetujuan Kanjengnya walaupun pembahasannya terdengar dingin.
Dengan begitu, Indira siap di depan teras dengan tokoh ibu dan anak. Rencananya, sang anak akan duduk membaca di teras depan rumah pada pagi hari, seakan sibuk dengan studinya. Sekeliling rumah diselimuti kabut pagi lembut karena lokasi rekaman ini berada di dekat hutan. Suara ombak pantai terdengar di belakang rumah. Sang ibu akan pergi mendatangi anaknya dari dalam rumah. Nampan dengan teh hangat dan roti tawar dibawa di kedua tangannya. Ibu akan membesarkan volume lagu lama di radio lalu memeluk anaknya di kursi. Perlahan mengajaknya berdiri, mengikuti tempo lagu, bersama-sama membiarkan suasana pagi membawa mereka berdansa.
“OKE CUT!”
Waktu berjalan cepat, tak terasa matahari mulai terbenam. “Makasih, ya. Buat hari ini!”
“Mulih sek yo!”
“Duluan, Dan. Makasih, ya.”
“Iyoo. Tiati di rumah.” Indira menoleh ke belakang, melontarkan senyum ke Danu.
Melambaikan tinggi tangannya.
Di rumah masih belum ada Ibu. Indira sendirian di bawah atap seperti biasanya. Ibunya selalu pulang malam karena pekerjaannya. Jarang bagi mereka berdua untuk bertatapan muka di rumah sendiri. Bagi mereka berdua, saling bertatapan dengan satu sama lain hanya akan menguras lebih banyak energi, terutama setelah jam kerja. Terutama untuk Indira. Kewalahan, berat badan Indira terjatuh ke sofa. Tenaganya sudah kuras abis sejak rekaman.
BRAKK. Suara pintu depan terbanting keras.
“HAHAHAH KURANG AJAR. BISA-BISANYA DIPECAT.” Siapa lagi yang teriak seperti itu selain ibunya. Bau alkohol menyengat darinya. Tampaknya Ibu minum-minum lagi di bar. Terpaksa, meski lelah Indira perlu merawat ibunya lagi yang masuk ke dalam masalah baru.
“Bu, udah. Ayo duduk dulu,” kata Indira berusaha menggopong tubuh berat Ibu. “APAAN SE. GAUSAH.” Ibu menangkis lengan Indira, membuatnya terjatuh ke
lantai. Indira hanya diam saja.
“…”
“SEKARANG IBU GA PUNYA UANG KAN. UDAH GA PUNYA KERJAAN. AYAHMU JUGA UDAH ILANG GA TAU KEMANA. KATANYA SAYANG-SAYANG.
SAYANG APANYA-” teriak Ibu menjelaskan perasaannya. “KAMU JUGA HABIS- HABISIN UANG AJA, NGAPAIN MASUK PERGURUAN TINGGI. MENDING LANGSUNG KERJA. KALAU KAMU GA BANYAK MINTA KITA GA BAKAL KAYAK GINI-“
“…”
“AKHIRNYA MAMA MINUM-MINUM JUGA JADI MASALAH KAN SAMA
ORANG-ORANG BAJINGAN DISANA,” kata-kata Ibu makin berlari liar. Indira kecil dulunya marah dan sedih tidak terkendali jika mendengarkan ini. Dewasanya, Indira hanya diam saja. Dirinya yang besar sudah lelah untuk mentangisi kata-kata yang terlewat melalui bibir ibunya. Indira tidak bisa berkata apa-apa, percuma bagi dirinya untuk menasehati Ibunya yang sudah tidak apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengarkan kata-kata sang Ibu tentang dirinya sebagai kekecewaan.
“KALAU GA MAU HIDUP KAYAK GINI, IKUT SAMA AYAHMU SANA. MINTA UANG SAMA DIA.”
Nafas Ibu tidak beraturan. Kuatnya bau alkohol masih tersebar dari tubuhnya. Tubuh Ibu semakin berat. Pandangannya kabur samar-samar, tak lama lagi ia akan tidur tergeletak di lantai. “…. Mau minum lagi-“ Tidak peduli perkataanya, Indira mencoba menggendong ibunya lagi ke kamar.
Tubuh Ibu diletakkan di atas ranjang berseprai biru tua. Pakaian tidur dibawakan Indira dari lemari kayu jati di ujung kamar. Pakaian demi pakaian Indira ganti, agar ibunya tidak tidur dengan bekas keringat yang tercampur alkohol. Sisa-sisa keringat di wajah dan leher dilap menggunakan handuk kecil. Selesai merawat Ibu, Indira duduk sebentar di ujung kasur. Mengandalkan tenaga yang tersisa untuk memijat kaki-kaki Ibu. Kaki Ibu sangat kasar, kering. Punggung tangan Indira juga akan terlihat kasar dan kering seperti itu sebentar lagi.
Di atas ranjang Ibu, anaknya sedang merenung. Uang, pekerjaan, Ayah, Ibu, mengulang terus menerus dalam kepalanya. Indira bingung harus apalagi agar mereka bisa tetap makan, minum, dan tetap tidur di naungan rumah. Pekerjaannya mengikuti lomba dan membuat video untuk orang lain di website freelance dapat membiayai mereka pas-pasan. Itupun Indira sudah susah untuk berhenti sebentar dan mengejar nafas kembali. Namun, tanpa gaji ibunya, Indira perlu menyelesaikan lebih banyak proyek daripada biasanya.
Pukul empat pagi, Indira belum istirahat. Belum saatnya, pikirnya. Sudah 10 jam sejak Indira merawat Ibu. Matanya tetap fokus kepada layar laptop berisi website-website freelance dan lamaran kerja dengan gaji yang lumayan. Suara tombol-tombol keyboard terdengar di ruang tamu, dimainkan oleh jari-jari yang lentik. Suara samar-samar lagu klasik ikut mewarnai seriusnya suasana di situ. Kertas-kertas berukuran A4 berserakan di lantai, menunggu untuk dibaca dan dicoret-coret sang pembuat film itu sendiri. Indira begitu fokus hingga ia lupa untuk makan malam lagi. Konsentrasinya belum terpecahkan sedikit pun bahkan oleh rasa kantuk.
Kerja kerasku belum sampai kemana-mana. Jangan berhenti dulu, Ra, pikirnya lagi.
Indira mendengar suara gesekan pintu, tapi dengan kondisi pikirannya yang terdorong untuk bekerja, ia menghiraukannya. Sedikit lagi, sedikit lagi, sedikit lagi. Kata-kata yang mendorong kesadarannya untuk tetap bertahan di jam tidur. Clip demi clip. Cut, cut, cut. Revisi,revisi.
“Nak, masih lembur, kah?” tanya Ibu dari belakang. Indira tidak memiliki niat untuk menjawab kembali. Tidak niat untuk memberi uang lebih bagi ibunya untuk minum-minum alkohol. Tapi, apa yang diekspetasikan Indira berbeda dengan apa yang barusan terjadi. Lengan
cerah Ibu merangkul Indira dari belakang ke pelukannya. Kepalanya tenggelam di kanan pundak Indira. Konsentrasi Indira akhirnya pecah. Matanya terbelalak dan jarinya beku berhenti mengetik.
“…-bu?”
“Susah, ya- tinggal sama Ibu?” bisik ibu di pundaknya. Haha. Siapa sangka perasaan Indira pecah begitu saja di pelukan ibunya. Hatinya rapuh namun otaknya baja. Dengan sekedar pelukan, Indira meneteskan air mata. Tidak ada suara lain selain isakan Indira dengan lagu klasik lama. Situasi yang sama mengingatkannya untuk kembali ke beberapa tahun yang telah terlewatkan. Rambut kusut Indira diusap oleh Ibu, sama seperti ketika Indira kecil tertekan dengan perkataan-perkataan orang lain. “Oalah, Raa…. Kamu kepikiran apa to anakku?” Masih tidak percaya bahwa dirinya menangis karena kesakitan, Indira terus menerus mengusap air matanya sendiri.
Lengan Ibu melepaskan pelukan yang dimulainya. Volume speaker di atas meja diperbesar oleh Ibu, otomatis suara tangisan Indira tertimbun dengan nyaringnya lagu klasik yang memenuhi satu rumah. Ibu mengambil kedua tangan Indira, gadis kecilnya, yang sibuk menghilangkan tangis dan sedih. Penglihatan Indira kabur tertutup air mata yang belum sepenuhnya disingkirkan. Raut wajahnya sedih, takut, marah, senang, entah mana yang paling benar. Kedua pundak Indira tegang karena nafasnya yang berantakan. Indira tidak tahu harus merasakan apa ataupun bertindak bagaimana. Indira tertekan dengan ibunya. Satu-satunya sisa ia punya.
Ditariklah tangan Indira agar tubuhnya berdiri. Belum memiliki tumpuan yang benar, berat tubuh dirinya tidak seimbang. Ketika tumpuannya sudah benar, Indira melihat ke wajah ibunya yang kabur. Dari sudut pandang Ibu, Ibu hanya tersenyum lembut melihat anak di depannya yang menangis terbata-bata, pikirnya ia dapat menenangkan putrinya. Sedangkan dari kacamata Indira, ia bingung dengan sisi mana dari ibunya yang sedang ia hadapi. Dirinya terbiasa dengan Ibu yang marah-marah, teriak, pemabuk, tertidur lemah, namun tidak dengan ini. Ia sudah lama tidak akrab dengan ibunya yang seperti ini.
Langkah Ibu mulai berayun. Indira sadar Ibu mengajaknya berdansa. Dansa yang sama dengan dansa yang biasanya Ibu lakukan dengan Ayah. Di ruang tamu, diiringi musik klasik lambat, mengambil waktu untuk menikmati tiap tempo dan alunan musik. Sayang, perasaan yang dihasilkan tidak sama dengan yang lalu. Perasaanya berputar-putar kesana kemari. Indira hanya mengikuti ayunan ibunya sambil berusaha menyatukan kembali pecahan-pecahan pikirannya.
“Yang kuat, ya, Nak.”
Indira tidak ingin terus menangis. Dirinya tidak ingin terlihat lemah di depan satu- satunya Ibu. Menghela nafas dalam, pecahan dirinya bersatu kembali. Indira menari melewati jam empat pagi.
“Ra, ayo standby di lokasi lagi,” ajak Kanjeng melihat Indira yang menunduk lemas di bangku halaman belakang.
“Kak-“ Indira ragu-ragu. “Aku ga tau kalau plot ini plot yang pantas,” kata Indira sambil sedikit berbisik. Kepala Indira menengok wajah seniornya, takut bahwa dirinya akan kecewa.
“Gausah ragu, Ra…. Lagi pula film ini tentang Ibu, kan?” (Tamat)
(Kontributor: Geraldine Angelina Prayogo, Siswi XI Bahasa, SMA Santa Maria Surabaya)