Surabaya, Krisanonine.com – Krisanis, mMasih ingatkah ketika diawal masuknya Rizal Ramli sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman ke dalam kabinet Jokowi mengundang pro dan kontra?  Pertentangan pro dan kontra sesungguhnya lebih dipicu karena  pernyataan-pernyataan kritis dan sinikal yang disampaikan beliau membuat masyarakat tersadarkan akan adanya sesuatu yang tidak beres pada beberapa program dan rencana pemerintah.

Hal yang kontroversial adalah dengan ditetapkannya beliau sebagai Menko Kemaritiman, maka sesungguhnya Rizal Ramli adalah pihak pemerintah. Dengan mengkritik pemerintah, maka pada dasarnya beliau mengkritik dirinya sendiri dan institusi yang menaunginya. Mungkinkah seseorang mengkritik dirinya sendiri secara terbuka dan terus terang? cenderung mengkonfrontir? Tidakkah hal itu justru menempatkan dirinya sebagai public enemy secara internal? Tidakkah itu menimbulkan konflik yang dapat mengganggu stabilitas hubungan secara internal?

Berbicara mengenai konflik, sebagian besar persepsi kita adalah hal negatif.  Sesungguhnya tidak semua konflik adalah negatif. Mengacu pada konsep mengenai konflik, terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Pertama, ada pandangan tradisional yang menganggap bahwa konflik adalah negatif, sesuatu yang tidak baik, sehingga kemunculannya sebisa mungkin dihindari.

Pandangan kedua disebut sebagai pandangan behaviorisme, pandangan ini melihat bahwa konflik adalah sesuatu yang wajar dan alamiah, sehingga bila muncul dicari jalan keluarnya, namun bila tidak muncul, maka tidak secara sengaja mencari-cari untuk memunculkannya. Pandangan ketiga memandang bahwa konflik adalah positif sehingga secara sengaja terus dimunculkan untuk tujuan tertentu. Dalam beberapa kondisi, konflik dianggap positif diyakini dapat memicu produktivitas suatu kelompok kerja atau organisasi.

Dari ketiga pandangan ini, maka seorang pemimpin sesungguhnya memiliki tiga pilihan terhadap konflik yang dapat mempengaruhi kinerja kelompok kerja yang dipimpinnya. Pemimpin yang memiliki talent ‘harmony’ sebagai salah satu talent utamanya, akan cenderung memilih pandangan pertama, yaitu konflik adalah negatif sehingga sedapat mungkin harus dihindari. Pemimpin yang ‘go with the flow’ lebih menganut pandangan tentang konflik adalah wajar.  Dengan demikian, bila konflik muncul, akan dicari jalan keluarnya  namun bila tidak muncul, tidak diupayakan untuk ada.

Hal yang agak kontroversial adalah bila seorang pemimpin menganut aliran yang ketiga, yaitu meyakini bahwa konflik harus dimunculkan agar memicu pertumbuhan kelompok. Dalam hal ini, si pemimpin akan terus berupaya memunculkan dan membangun konflik, dengan tujuan mendorong kreativitas dan produktivitas kelompok.

Walaupun tidak selalu tepat, namun dalam beberapa situasi, munculnya konflik justru mendorong adanya pergerakan yang membuat kelompok menjadi lebih dinamis, kreatif dan tumbuh.  Pertanyaan selanjutnya adalah, apa saja yang dapat memicu terjadinya konflik? Atau bagaimana menciptakan konflik?

Sumber konflik dapat berupa tugas ataupun personal, konflik yang bersumber dari tugas adalah sumber konflik yang bersifat positif.  Disebut positif karena konflik justru muncul karena adanya dorongan sebuah kelompok kerja untuk menyelesaikan tugas lebih baik dibandingkan pihak lawan konfliknya.

Konflik yang bersumber personal, biasanya akan berkembang menjadi konflik yang disfungsional atau cenderung negatif, sehingga justru akan merusak hubungan dan kinerja tim. Oleh karena itu, sebisa mungkin pemimpin dapat menggali dari perbedaan tugas dan perbedaan tujuan penyelesaian tugas sebagai sumber konflik, dan sebaiknya pula seorang pemimpin harus cukup peka mencermati bila konflik sudah mengarah pada konflik yang bersifat personal.

Sebagai contoh tanpa ada tendensi apa-apa, Rizal Ramli dengan jurus ‘Rajawali Ngepretnya’, bukan tidak mungkin hal ini merupakan sebuah cara dari sang pemimpin dalam hal ini Jokowi untuk menciptakan konflik dalam kabinet yang dipimpinnya. Pernyataan-pernyataan kontroversial yang bersifat mengkritik dari Rizal Ramli merupakan alarm bagi pemerintah sendiri untuk mengoreksi apakah program yang akan dan sedang dijalankan sudah benar-benar tepat.

Pernyataan tersebut ternyata menyinggung kelompok kerja lain dalam pemerintahan yang sama, sehingga secara tidak sadar, konflik muncul. Munculnya konflik diharapkan dapat memicu kelompok kerja tersebut untuk berupaya membukikan bahwa apa yang disampaikan Rizal Ramli tidak benar.

Kondisi ini tentu akan mendorong persaingan unjuk kerja yang berakhir pada peningkatan kinerja produktif dengan tujuan untuk kebaikan bersama. Sebagai pemimpin, bisa saja Jokowi ternyata menganut paham bahwa untuk kondisi tertentu, konflik memang perlu dimunculkan, agar tercipta dinamika dan pergerakan yang berujung pada peningkatan kinerja secara terus menerus.

Bagaimana di perusahaan Anda?

(Kontributor: Rachmi Endrasprihatin M.M – Konsultan SDM, PPM Consulting)

*Tulisan prnah dimuat di majalah BUMN Track No. 102 Tahun VIII.

 

Gambar: www.google.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini