Surabaya, KrisanOnline.com – 7 hari berlalu sudah, dan Cintyalah yang menjadi pusat perhatianku selama ini. Entah mengapa, aku merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Cintya. Ia tak seperti gadis kebanyakan, yang akan berusaha tampak paling menonjol dalam kelas agar mereka mendapatkan perhatian berlimpah. Banyak gadis yang akan bergenit-genit ria agar bisa mendapatkan pujaan hatinya. Namun, Cintya? Ia selalu duduk di pojok belakang dan tak mau bersosialisasi. Di saat ada kerja kelompok, ia selalu dipilih paling akhir. Ia juga termasuk salah satu perempuan yang jarang berekspresi. Mungkin melihatnya tersenyum. Bisa jadi merupakan salah satu keajaiban yang pernah kulihat. Bahkan, tak jarang aku melihatnya sedang berbicara sendiri dengan bangku sebelahnya yang sedang kosong. Dan lagi, kalimat yang ia lontarkan seringkali membuat lawan bicaranya sakit hati. Ia ternyata orang yang sarkasme. Tak ada orang yang mau mendekati dia karena keanehannya. Bahkan saat anak lain selalu pergi kekantin untuk membeli makan, hanya ia sendiri yang tak mau bergeser sejengkal dari kursinya. Jujur, aku merasa kasihan melihatnya.
Saat itu bel istirahat dan semua siswa berlomba menuju ke kantin agar bisa mendapat meja makan yang kosong. Seperti biasanya, Cintya masih saja duduk di kursi singgasananya. Disaat yang lain sudah meninggalkan kelas. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menghampirinya, dan mengajaknya berbicara.
“Hai Cin (baca: Sin). Kamu ga mau pergi ke kantin? Ini sudah waktunya istirahat kan?”tanyaku padanya. Tetapi, dia malah menjawab dengan tenang “Harus banget ya makan sekarang? Ga makan sekalipun, ga bakal bikin aku mati hari ini.” Wow, jawaban yang sangat singkat tapi sangat jelas. Bahkan kelewat jelas hingga rasanya sakit waktu mendengarnya. Ada apa dengan anak ini? Apa salahku sampai sampai ia berkata kasar seperti itu padaku? Niatku kan baik. Aku hanya ingin mengajaknya ke kantin dan… argh sudahlah. Mungkin sekarang dia sedang memiliki masalah.
* * * *
Jawaban tersebut membuatku segan dengannya. Awalnya, aku ingin mengurungkan niatku untuk berkenalan lebih jauh dengannya. Tetapi aku sadar, bagaimana bisa aku mendapat apa yang aku inginkan tanpa berusaha? Bahkan menjauhinya malah membuatku semakin bertanya tanya tentangnya. Dan kalau aku diam saja, tentunya aku tak akan bisa mengetahui jawaban dari segala pertanyaanku tentang dirinya. Aku pun berusaha untuk lebih berani lagi mengenal dirinya.
Sebulan kemudian, aku dan seluruh siswa di sekolahku diwajibkan untuk mengikuti event terbesar sekolahku yang diadakan di luar kota. Entah mengapa, pikiranku langsung tertuju pada Cintya. Apa yang akan terjadi bila dia sendirian di tempat asing? Sepertinya berbahaya bila gadis semanis itu jalan sendirian tanpa ada orang lain yang menemaninya untuk dijadikan pelindung. Jadi, dimana dia? Aku harus menemukannya. Firasatku mengatakan bahwa aku harus selalu berada di dekatnya kaarena mungkin sekaranglah waktu yang paling tepat untuk berkenalan lebih jauh lagi dengannya. Tapi kemana perginya dia? Ke mana aku harus mencarinya? Mataku melihat seluruh orang yang ada disekitarku seperti elang yang sedang mencari mangsa. Oh itu dia! Berjalan sendiri menuju taman utama. Segera kulangkahkan kakiku dengan jarak yang lumayan jauh agar aku cepat sampai padanya. Tak lama kemudian, aku melihat segerombolan perempuan yang berusaha mendekati dia untuk mengajaknya bergabung dengan mereka. Tapi apa yang terjadi sungguh diluar dugaan. Mereka ditolak mentah-mentah olehnya. Sempat kudengar dia berkata “Buat apa jalan sama kalian, kalau aku bisa jalan sendiri?” Sontak para perempuan itu langsung menjauhi dia dengan tatapan sinis. Cara ia menolak, melontarkan jawabannya, dan memilih sesuatu selalu berbeda dengan kebanyakan orang. Anehnya, hal itu membuat sudut pandangku tentangnya berubah. Kurasa, ia sekarang bukan orang aneh lagi dihadapanku. Karena saat itu juga, aku menemukan sisi misterius yang memesona dari dalam dirinya.
Gerombolan perempuan tersebut telah menyingkir. Perlahan tapi pasti, kulangkahkan kakiku agar jalanku bisa sejajar, dan bisa leluasa berbicara dengannya. Kulihat ia sempat melirik ke arahku sebelum aku sampai disebelahnya. Oh Tuhan, matanya… Tak kusangka dia mempunyai mata seindah itu. Bulu mata yang lentik, alis yang tegas, dan iris mata yang berwarna hitam pekat, sangat cocok dengan rambut gelombangnya dan wajahnya yang oval. Astaga! Apa yang baru saja kulakukan?
Lebih dari 5 detik telah k habiskan hanya untuk menatap wajahnya. Aku mulai berusaha untuk mendekatinya, dan menghilangkan semua rasa takutku lagi. Tapi, baru saja aku berdiri disebelahnya, dia langsung mendorongku ke belakang dan langsung menyeletuk dengan tatapan yang sangat ganas “Minggir kamu! Awas kalau kamu sampai halangi jalannya temenku lagi.” Dan tiba-tiba saja, aku melihat bayangan putih berdiri disebelah Cintya, lebih tepatnya lagi ditempat dimana aku tadi didorong olehnya. Bayangan itu tampak seperti… manusia? Apa itu? Apa itu hantu? Bagaimana aku bisa melihatnya lagi? Padahal kemampuan indigoku sudah kututup sejak usia 5 tahun, meski belum seluruhnya. Dan, seharusnya aku hanya bisa melihat hantu saat aku sedang sakit. Jadi, apa selama ini dia yang selalu diajak Cintya bicara? Apa selama ini hanya dia sahabatnya? Ia tidak hanya melihat, namun ia juga dapat berbicara dengannya. Hebat sekali dia. Berarti selama ini anggapanku salah. Bukan berarti ia benar” tidak memiliki teman. Sejatinya, ia hanya tidak ingin mempunyai teman karena kebanyakan orang tidak cocok dengan kriterianya. Ya ampun, Aku merasa bersalah karena sudah menganggap ia aneh.
Segera aku berdiri dan membersihkan tanah yang menempel ditubuhku. Aku merasa malu. Aku malu karena tiba-tiba menjadi sorotan utama dari sekian banyak pasang mata di taman ini. Tapi rasa maluku tidak akan melunturkan rasa inginku untuk selalu melindunginya. Memang aku tidak diizinkan untuk berjalan di sebelahnya, tapi aku boleh berjalan di sekitarnya kan? Mulai kali ini aku akan melindungi kamu, Cintya. (Tamat)
(Kontributor: Herman Josef Ekaputra, Mantan Staf Redaksi Majalah Cetak Krisan, Alumni SMA Santa Maria Surabaya)