Surabaya, Krisanonline.com – Petang yang panas dan pengap di bulan Juli. Aku sedang menyeruput coklat panas di teras halaman panti asuhan tempatku tinggal sambil memandangi tv yang menyiarkan berita pembunuhan. Yap tahun 2017 merupakan tahun dimana banyaknya kasus pembunuhan yang terjadi di Indonesia. “Ada baiknya tv menyiarkan berita yang berguna seperti ini yang setidaknya infomatif, daripada menayangkan sensasi dan pencitraan belaka.” Ujarku kepada teman sekamarku, Elsa.
Menjelang malam aku melakukan rutinitasku selayaknya anak panti asuhan. Oh iya aku lupa menceritakan kepada kalian semua, bahwa rutinitasku selama disini sangatlah membosankan. Kegiatan keseharianku hanya Bangun pagi, membersihkan tempat tidur, ibadat pagi, membersihkan diri, sarapan, bersih-bersih, makan siang, tidur siang, bangun, mandi, makan malam, ibadat malam, tidur, dan melakukan hal-hal yang sama seperti itu setiap hari. Coba kalian bayangkan! membosankan bukan?. Aku selalu merasa terjebak oleh waktu yang tak kuinginkan dan merasa begitu tertekan terhadap setiap tindakanku disini. Menghirup udara segar saja terasa sangat mencekik, menginjakkan kakiku ke tanah terasa berat, menggerakan tubuh ini terasa penuh beban. Disini semua serba diatur.
Keesokan harinya, sinar matahari yang menyapaku lewat sela-sela jendela masuk dan menusuk mataku sehingga membuat aku tersadar bahwa hari penderitaan baru di Panti Asuhan akan segera dimulai. Seperti biasa aku segera bangun, ibadat pagi, merapikan tempat tidurku, dan sarapan. Setelah selesai sarapan, Elsa menghampiriku dan berkata “Dewi, kamu dipanggil Bu Kumala di kantor Panti sekarang!”. “ Hah, ada apa nih?” tanyaku kepada Elsa. “Tidak tahu, kamu segera kesana saja, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan,” Kata Elsa kepadaku. Tanpa basa-basi, aku langsung mempercepat tapakkan kaki ku menuju kantor, karena aku tahu, Bu Kumala merupakan Kepala Panti Asuhan yang terbilang disiplin dan keras. Saat tiba disana, aku melihat seorang Ibu yang cantik nan rupawan, memakai kalung berlian di lehernya, dan memakai gaun sutra yang mewah. “Wah pasti Ibu ini wanita kaya”, gumamku dalam hati. “Ada perlu apa Bu Kumala memanggil saya?” tanyaku kepada Bu Kumala. “Perkenalkan ini Bu Gina yang akan mengadopsi kamu sebagai anaknya” ujar Bu Gina kepadaku dengan senyuman manis di bibir merahnya. Jujur itu adalah senyuman termanis yang pernah kulihat dari Bu Kumala. Selama hidupku di Panti ini, Ia selalu marah, tiada hari tanpa keributan dan ocehannya. “Hallo saya Bu Gina, mulai sekarang kamu panggil saya Mama ya!”. Ujar Bu Gina kepadaku dengan senyum manisnya, yang mungkin terpesona dengan kecantikanku..hehe. “Baik Bu Gina, ehh..maksud saya Mama Gina” Ucapku sambil tersipu malu.
Mengangetkan bukan? Sulit dipercaya bahwa mimpiku selama 3 tahun untuk diadopsi keluarga baru kini menjadi kenyataan. Tapi betapa beratnya untuk melepaskan teman-temanku di panti asuhan, terutama Elsa teman sekamarku. “Dewi, ingat aku terus ya..namaku Elsa!. Aku akan baik-baik saja disini, jaga kesehatanmu dan jaga keluarga barumu, jangan pernah berulah ya..” Teriak Elsa sebagai salam perpisahan untukku. Sebelum masuk ke mobil Ferarri yang menjemputku aku mengampiri Bu Kumala untuk bertanya sesuatu sambal memeluknya “Bu, bolehkan saya bertanya sebelum saya pergi?” . “Boleh, tentu saja.” Ucap Bu Kumala sambal memelukku. “Aku diadopsi keluarga ini atas kemauan siapa?” tanyaku dengan terbata-bata. “Atas kemauan Bu Gina sendiri, tapi saya yang merekomendasikan kamu dan sudah disepakati beliau” Kata Bu Kumala sambil menghapus tetesan air mata di pipiku. “Mengapa Ibu merekomendasikan saya?” tanyaku sambil menatap mata Bu Kumala. “Nanti kamu akan tahu”, jawabnya, singkat. Selepas itu Bu Kumala melepaskan pelukanku dan menyuruhku untuk segera masuk mobil. (Bersambung)
(Kontributor: Maria Jeanice Clarista Padjo, Siswi XI Bahasa, SMA Santa Maria Surabaya)
(gambar: www.google.com)