Pintu ruang musik terbuka, mengeluarkan suara nyaring yang mengagetkanku. Serentak, aku mengangkat kedua tanganku dari atas piano dan menoleh ke belakang, menajamkan pendengaranku. Entah siapa yang memasuki ruangan, tetapi orang tersebut langsung berjalan menuju tempatku terduduk dengan langkah yang lebar dan yakin.
“Kamu.” Aku langsung mengenal suara tersebut, suara lelaki yang baru saja menyentuh hatiku melalui permainan pianonya. Ia kembali, entah untuk apa.
“Ya?” Aku menggagap, mendadak kembali gugup. Apakah ia mendengarkan permainan pianoku barusan? Jika iya, habis sudah diriku. Aku menunduk, berusaha untuk menyembunyikan wajahku.
“Kamu yang barusan main?” tanyanya. Suaranya yang tadinya santai dan tenang, membuatnya terdengar sangat percaya diri, berubah total. “Kamu kan yang barusan main?” Desaknya lagi, suaranya diwarnai keterkejutan. Aku mengangguk perlahan.
“Aku hanya ingin mencoba bermain sepertimu.” Aku berkata pelan, entah mengapa merasa seperti seorang anak yang sedang dihukum atau diceramahi.
“Ini bukan pertama kalinya kamu bermain piano, kan?” Pertanyaannya mulai tidak masuk akal.
“Iya, ini pertama kalinya aku menyentuh sebuah piano.” Aku menjawab, mengakhiri jawabanku dengan tawa canggung. “Memangnya kenapa?” Separah itukah permainanku? Ia tidak mengeluarkan sedikit pun suara untuk sepersekian detik, membuatku bertanya-tanya apakah dia sudah pergi.
“Kok kamu bisa langsung bermain seperti itu?“ Ia terdengar terkesima, pujiannya membuatku merasa jauh lebih baik.
“Aku hanya mengulang kembali permainanmu barusan dalam kepalaku. Lalu aku coba untuk mainkan di atas piano.” Jelasku, mencoba untuk tidak terdengar sombong. Apakah hal seperti ini jarang terjadi? Aku memang mempunyai pendengaran yang tajam dan ingatan yang baik.
“Kamu benar-benar berbakat!” ujarnya tiba-tiba. Membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk mencerna kata-katanya, membisu dengan mulut menganga. Permainan asal-asalan barusan itu sebuah bakat di matanya? Atau mungkin ia hanya ingin menyanjungku saja? Mungkin ia merasa iba dan mengasihaniku yang mencoba begitu keras untuk bermain sepertinya? Mungkin karena raut wajahku saat itu menunjukkan ketidakpercayaan yang begitu hebat, sang pianis kembali melanjutkan kata-katanya.
“Aku tidak bohong. Kamu itu jenius ya? Aku membutuhkan lebih dari setahun untuk menyempurnakan lagu itu dan kamu hanya membutuhkan beberapa menit setelah mendengarkan lagu tersebut untuk memainkannya!” Ia berseru. Aku dapat merasakan kekagumannya yang tulus dari caranya berbicara, membuat jantungku berdegup lebih kencang.
“Terima kasih. Tapi permainanku tadi… Memangnya sebagus itu? Perasaan masih sangat kacau dan berantakan.” ujarku ragu. Pendengaranku yang setajam pendengaran anjing dapat membedakan seberapa besar perbedaan antara permainan kami berdua. Bagaikan langit dan bumi. (Bersambung)
(Kontributor: Lindawati Wijoyo, Alumni Siswi XII IPA 4, SMA Santa Maria Surabaya)