Aku mencoba untuk mengarahkan pandanganku menuju sumber suara tersebut. Di saat itu juga, aku memutuskan bahwa aku menyukai pemilik suara tersebut. “Bagaimana?” ulangnya. Aku tersenyum dengan lebar, sebelum menganggukkan kepalaku dengan antusias. Aku akan melakukan apa saja untuk mendengar permainannya sekali lagi. Ia tertawa kecil, sebelum menepuk pundakku dan berjalan melewatiku, keluar dari ruang musik dan meninggalkanku sendiri.
Perasaanku bercampur aduk, sebuah efek samping dari pertemuanku dengan sang pianis tadi dan permainan pianonya yang luar biasa. Aku bergerak menuju grand piano yang bertengger ditengah ruangan, meraba-raba sekitarku. Aku membuka tutup piano dan duduk di atas kursi di hadapannya. Perasaan ini begitu asing bagiku, yang tidak pernah menyentuh alat musik apapun seumur hidup. Tidak sedikit orang yang memberitahuku untuk tidak membuang-buang waktuku dengan bermain alat musik. Mereka tidak pernah memberitahuku mengapa, tetapi aku dapat menerka alasannya.
Kekuranganku ini memang sering kali menghambatku dalam mencoba hal-hal baru dan melakukan hal-hal yang anak-anak lain seumuranku dapat lakukan. Pemikiran seperti inilah yang juga meyakinkanku bahwa aku tidak mampu melakukan apa-apa akibat kekuranganku.
Aku meletakkan tasku di lantai dan mengulurkan tanganku untuk menekan nada di atas piano. Rasa malu dan gugup membanjiriku, tetapi apa salahnya memainkan beberapa nada secara asal-asalan? Toh, sudah tidak ada orang di sekolah. Aku memencet nada, satu persatu, mendengarkan suara yang dikeluarkan dengan penuh perasaan. Lalu pikiranku kembali ke pemuda yang kutemui barusan, bagaimana permainan pianonya menunjukkan perasaan yang paling dalam, membuatku merasa seperti aku telah lama mengenalnya. Bagaimana permainannya menunjukkan berbagai spektrum warna untuk muncul dalam mata benakku yang hanya mengenal kegelapan.
Aku menelan ludah. Aku ingin bermain sepertinya. Aku ingin mengutarakan perasaanku, mengutarakan isi hatiku melalui nada-nada yang kumainkan. Aku ingin membuat orang-orang di sekitarku melihat warna-warna asing yang tidak pernah mereka lihat sebelummnya. Jari-jariku menari lebih cepat di atas piano, berusaha keras untuk melahirkan kembali nada-nada yang kudengar. Dunia di sekitarku meluas dengan setiap nada yang kumainkan.
Aku mencoba untuk mengingat nada-nada yang sang pianis mainkan, dari nada tinggi yang energetik dan penuh gairah, sampai dengan nada rendah yang lembut dan melankolis. Aku mencoba setiap nada di piano dan menyamakannya dengan apa yang kudengar barusan. Benakku dipenuhi dengan perkataan orang-orang lain di sekitarku yang semua mengatakan hal yang sama. Semua secara tidak langsung mengatakan bahwa aku tidak mampu. Bahwa kekuranganku ini menghambat perkembanganku. Bahwa aku tidak dapat melakukan apa-apa.
Nada-nada yang kumainkan berantakan, jauh dari cara sang pianis bermain. Namun aku tidak peduli. Kumainkan terus bagian-bagian yang meninggalkan kesan terdalam dalam hatiku. Ini kali pertama aku menyentuh sebuah piano, tetapi nada-nada yang kukeluarkan tidak seburuk yang kukira. Tiba-tiba, ….(bersambung)
(Kontributor: Lindawati Wijoyo, Alumni Siswi XII IPA 4, SMA Santa Maria Surabaya)
Ilustrasi gambar: www.google.com