Gelap. Hitam pekat. Tiada warna, tiada cahaya. Itulah pemandangan yang selalu menemaniku di setiap hari. Memang tidak mudah terlahir sebagai tuna netra. Terbiasa dengan kegelapan yang mencekam, tanpa celah bagi cahaya untuk masuk. Aku benci keadaanku ini. Aku benci terlahir seperti ini. Ada banyak hal yang ingin kulakukan, banyak hal yang ingin kucoba, tetapi kekuranganku ini selalu menghambatku, selalu menghalangiku dari mencapai apa yang ingin kucapai.
|
Sembari mengehela napas panjang, aku melanjutkan
perjalananku menyusuri lorong. Aku telah menghafal setiap belok dan likuk
sekolahku itu, sehingga aku tidak lagi membutuhkan siapapun untuk memanduku di
dalam lingkungan sekolah. Aku mengulurkan tanganku ke samping, merasakan
dinginnya permukaan jendela yang berada pada kiriku. Langkahku melambat. Sunyi
senyap. Aku tidak tahu pasti jam menunjukkan pukul berapa
saat itu, tapi aku yakin matahari sudah terbenam. Kehangatan sinar mentari
yang biasa kurasakan berdiri di samping jendela tersebut sudah lama memudar.
Kegelapan. Gelaplah yang kulihat. Dingin pula yang kurasa. Aku benci perasaan ini. Ini benar-benar tidak adil. Anak-anak lain seumuranku dapat melakukan berbagai hal yang mereka sukai. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan. Aku? Berjalan dari rumah ke sekolah saja aku masih harus ditemani ibuku. Kekosongan yang amat hebat sering kali menghantam dadaku. Kekosongan yang muncul akibat kekuranganku ini. Sering terlintas dalam benakku, perubahan macam apa yang dapat terjadi pada hidupku jikalau aku dianugerahi penglihatan? Akankah aku menjalani kehidupan yang benar-benar berbeda dari yang sedang kujalani sekarang? Dapatkah aku hidup seperti anak-anak lainnya seumuranku? Akankah aku menjadi lebih bahagia?
Aku berhenti berjalan, menarik napas panjang dan berdiri mematung untuk waktu yang lama. Saat itulah aku sadar bahwa langkah kaki dan napasku bukan satu-satunya suara yang mengisi kesunyian lorong tersebut. Aku menajamkan pendengaranku. Mereka berkata, ketika seseorang memiliki kelemahan dalam salah satu inderanya, inderanya yang lain otomatis akan bekerja lebih tajam. Mungkin pernyataan tersebut benar, karena pendengaranku memang jauh lebih tajam dan jelas dibandingkan pendengaran orang-orang lain di sekitarku.
Melodi yang indah memenuhi gendang telingaku, samar tapi jelas. Suara piano seketika meredam kesunyian yang hampir menelanku hidup-hidup. Nada yang dimainkan energetik dan bergairah. Membuatku melupakan duka dan kegelisahan yang baru saja kurasakan dalam hitungan detik. Aku menoleh ke belakang, terpancing oleh permainan yang begitu indah dan menyentuh hati. Lekas, aku memutar tubuhku dan melangkah maju.
Satu-satunya ruangan dengan piano di sekolah ini hanyalah ruang musik dan naluriku berteriak agar aku segera bergerak dan menemukan sumber melodi tersebut. Apa yang akan kulakukan ketika aku menemukan sumber suara tersebut? Akankah aku mendobrak masuk ruang musik dan memperkenalkan diri kepada sang maestro yang bermain sebegitu indahnya? Atau akankah aku menunggu di depan ruangan dan mendengarkan permainannya diam-diam seperti seorang penguntit yang memiliki terlalu banyak waktu untuk dibuang? Kedua ide terdengar sangat buruk di benakku.
Kupercepat langkahku, menggunakan tangan kirku untuk menelusuri dinding di sebelahku sebagai satu-satunya pemandu yang dapat mengantarkanku ke ruang musik. Nada-nada piano terdengar semakin vibran dan jelas di setiap langkah yang kuambil. Aku berhenti ketika nada-nada tersebut terdengar begitu nyaring di telingaku. Tanganku meraba permukaan pintu yang mengarah kepada sumber melodi tersebut. Ketika kukira lagu telah berakhir, jari-jari sang pianis kembali menari-nari di atas tuts piano, mengeluarkan suara-suara indah yang memikat. Aku terpaku, mulut menganga dan…..takjub! (Bersambung)
(Kontributor: Lindawati Wijoyo, Alumni Siswi XII IPA 4, SMA Santa Maria Surabaya)